Wednesday, January 27, 2016

Case #12

“Mas?”
Gama yang hendak menyeruput tehnya, berhenti sejenak untuk menatap istrinya. “Iya?”
“Aku sedikit heran.”
“Kenapa, Dik?”
“Kamu masih bisa juga tenang meski kemarin ribut-ribut. Yakin, Mas nggak apa-apa?”
Tawa kecil terselip. “Nana, tentu aku nggak mau diriku sendiri berantakan gara-gara kejadian seperti kemarin, kan?” Gama membalas dan melanjutkan apa yang terhenti tadi.
Jam digital di dinding tengah menunjukkan pukul tujuh, sayang matahari harus sedikit terhalangi cahaya hangatnya oleh gumpalan kapas di langit. Sepiring telur dadar telah habis di hadapan kedua sejoli itu, menyisakan sedikit sisa minyak tipis dan sepasang alat makan di atas piringnya. Kini secangkir teh hangat yang menemani percakapan mereka. Keduanya sama-sama telah berpakaian rapi, siap menjalani rutinitas sehari-hari.
“Mas?” Nana kembali memulai.
“Hm?”
Nana melirik ke arah lain sekilas, sedikit menarik napas dalam sebelum bertanya, “Kabar yang kolaps kemarin gimana, Mas?”
Gama menghela napas. “Mereka sudah ditangani kok, sudah dibawa ke Lab Besar. Banyak yang sudah mulai baikan, tapi ada juga yang masih sama. Kuharap bisa selesai sebelum jadwalnya untuk chip ini dirilis… Mau bagaimana juga, apapun bisa terjadi.”
“Begitu, ya… Lalu, gimana dengan dirimu sendiri, Mas?”
Gama mengulas senyum tipis, jemari melingkari bulatan emas pada tongkat yang bersandar di sisi meja. “Aku baik, kok... kondisiku semakin stabil. Mungkin sebentar lagi aku nggak perlu menyetrum orang lain tiap mau jabat tangan. Kita jadi bisa bergandengan tangan seperti dulu lagi, kan?”
Nana menghela napas lega dan menggenggam tangan lain suaminya, “Coba waktu itu aku nggak tanya barang yang dikasih Mas Naharis itu apa. Pasti sampai sekarang kamu nggak cerita sama aku, Mas.”
Gama tertawa menanggapi istrinya, jempol tangan balas mengelus telapak dan jemari lembut Nana sebelum kembali mengangkat cangkir, menyeruput teh yang tersisa seperempatnya. Ia justru mengira Nana akan menolak keras. Beruntung apa yang terjadi adalah sebaliknya, meski ia harus lebih dulu melihat satu dua momen di mana Nana belum utuh menerima.
“Aku dari awal bukan orang yang percaya sama hal-hal ‘begituan’, Mas. Aku bahkan kadang masih nggak bisa menyangka chipnya bisa melakukan hal seperti itu,” Nana bercerita. Kemudian dengan senyum lembut, menatap ke arah lantai, ia berkata, “Ternyata banyak sekali hal di dunia ini yang kita nggak tahu, ya? Aku merasa kecil…”
Kecil.
Satu kata sederhana itu seperti menyenggol sesuatu di dalam diri Gama.
“Aku juga nggak kepikiran jika justru kamu Mas, yang menggali harta tadi dan membagikannya ke semua orang. Kamu juga berani merelakan diri sendiri untuk dipasangi, dengan segala resikonya. Lihat berapa banyak orang yang tertolong.”
Aku tahu.
“Aku cuma berharap, ke depan nanti nggak ada lagi yang sampai punya ‘bonus’ seperti Mas. Hahaha...”
Apa?
Gama menaikkan alis. “Kenapa?”
Piringan cokelat susu hangat itu menatapnya cemas. “Bagaimana jika ada orang lain yang mendapatkan itu bukan orang yang seperti kamu?”
“Maksudmu?”
“Y-ya… Aku sering mendengarnya. Orang-orang spesial yang lebih dulu ‘bangkit’. Katanya… mereka melakukan hal-hal yang mengerikan,” jelas Nana. “Tapi kalau itu kamu Mas, aku percaya kamu takkan melakukan hal-hal itu.”
Layaknya menemukan ladang uranium, mengetahui keberadaan energi bioplasma dan segala potensinya itu. Gama mengangguk pelan, paham betul apa yang dimaksud Nana. Cerita-cerita klasik yang kerap istrinya dengar memang erat dengan hal yang ditelitinya ini, yang tentu suatu saat tirainya akan ia sibak.
Satu hal yang Gama sadari soal uranium—benda itu bersifat abu-abu.
Segalanya di dunia ini sendiri adalah abu-abu.
“Begini, Dik… Itu kembali ke orangnya asing-masing, kan? Entah dia mau memilih untuk mengolahnya menjadi sumber kehidupan atau alat penumpah darah.” ungkap Gama, meletakkan cangkir teh kosongnya pada tatakan. “Bahkan orang-orang yang belum ‘bangkit’ sudah mampu melakukannya dengan keterbatasan mereka saja pada saat itu. Misal kita menemukan bambu—setelahnya mau kita apakan? Menyusunnya menjadi tempat berteduh atau kita runcingkan untuk menghilangkan nyawa orang lain? Proyek ini menyadarkanku tentang sesuatu... apa yang membuat kita, manusia, spesial. Kebebasan untuk memilih. Digabung dengan akal dan nurani… Lihat yang kita sudah perbuat, kan? Manusia adalah makhluk paling luar biasa yang ada di dunia ini.”
Lembutnya sepasang piringan kelabu logam itu terasa berbeda, setidaknya ini baru apa yang Nana dapatkan ketika bertatapan dengannya.
Intens, mata lelaki itu seolah menayangkan penjabaran semua yang telah dilihatnya.
“Cukup dengan membayangkan, mengulang apa yang kita mau dan pilih di benak kita, tubuh seolah digerakkan hingga meraihnya. Dengan cara apapun, tak peduli jarak yang harus ditempuh. Tapi manusia tidak hidup sendiri kan, Nana? Tiap orang punya urusan dan tujuannya masing-masing. Saat kita dengan cara apapun berusaha menyelesaikan urusannya sendiri-sendiri, tahu apa yang terjadi? Kekacauan.
“Maka dari itu muncullah batasan. Batasan-batasan itu yang sering kita sebut dengan hukum, agama, atau apa saja yang serupa. Batas-batas inilah yang membuat manusia dan lingkungan sekitarnya dapat hidup berdampingan. Sayang tidak semua orang paham—haha—atau bahkan, sengaja tidak mau paham mengenai batas-batas itu di mana secara bersamaan mereka pun sadar akan akibatnya pula, kan?”
Aliran kalimat suaminya merangkul dan merasuk, Nana tak mampu berkomentar sepatah kata.
Nadia Setyaningrum mungkin termasuk dari satu banding sekian wanita beruntung. Perlukah Nana sebutkan sudah berapa kali suasana seperti ini terulang di antara keduanya di beberapa kesempatan terakhir? Kecemasan Nana sanggup dihanyutkan sedikit demi sedikit oleh Gama, mengembalikan rasa hangat dan senyumnya lagi dengan kalimat-kalimat mutiara terbalut oleh suara yang menenangkan.
“Aku selalu percaya jika tidak ada ‘kebetulan’ dalam sebuah peristiwa. Selalu saja ada hal di balik itu semua yang takkan mungkin kudapatkan jika aku mengalami peristiwa yang berbeda. Jadi apa yang kumiliki ini, Nana…” Gama mengalihkan pandangan pada satu telapak tangannya, tersenyum lembut. “Kamu menyebut ini efek samping. Bagiku berbeda. Ini anugrah. Berkah. Artinya, aku akan bertemu dengan peristiwa yang memberikanku maksud dan alasan memiliki ini tidak lama lagi.”
.
Tidak perlu menunggu.
.
“Dik, kamu takut jika ada orang lain yang dikaruniai kelebihan serupa justru melangkahi batas dan melakukan hal yang mengerikan, kan?”
Wajah Nana terangkat, menghadap sisi samping wajah suaminya yang tengah menatap keluar jendela. Sedikit terbata, Nana menjawab, “I-iya, Mas. Kenapa?”
“Boleh aku berjanji membuatkan ‘tempat itu’ untuk kita?”
Wanita bersurai gelap sebahu itu sedikit mengerenyitkan dahi, bingung. “Tempat apa…?” gumamnya.
“Tempat di mana harapan senantiasa hadir, tiada ketakutan, semua bersinergi. Harmonis.” Kemudian Gama menoleh, senyumnya yang hangat dengan tulus mengucapkan, “Di sana, kita akan hidup bahagia—sampai ajal memisahkan kemudian mempersatukan kita kembali.”


= = =

Variable X

Case 12: Conspiracy


= = =




Pada satu dari barisan bilik, sejak satu jam lalu Reza tidak berhenti menatap layar laptop, sesekali sambil menyisip segelas cappuccino dari dispenser yang terletak pada salah satu sisi kantor. Dengan headphone di telinga memainkan electro, ia mengetik sejumlah baris kode perintah. Sebuah jendela baru kemudian terbuka, menampakkan daftar beberapa file yang siap diperiksa isinya.
Ternyata kelinci percobaan lab lebih banyak yang ia kira. Reza menaikkan alisnya, kagum.
Segaris senyum simpul merekah. Dengan posisi dirinya saat ini, akhirnya Reza mendapat skor satu poin yang dirinya dambakan dari percobaan membobol basis data terdalam dari lab. Menembus perisai logika Kak Ganes sangat melelahkan, lebihnya lagi sang Ketua Departemen memiliki tumpukan simpanan trik berbeda-beda tiap kali memasang.
Sebuah tanda pula jika kemampuannya tengah meningkat. Andai Reza adalah dirinya di satu tahun yang lalu, menerobos perisai ini akan memakan waktu lebih banyak daripada usahanya dulu yang harus memutar otak nyaris tiga jam tanpa istirahat di tengah malam.
Belum ada tanda-tanda mengkhawatirkan komputernya untuk diambil alih, Reza iseng menggulir daftar itu untuk membaca nama-nama di sana.
Satu-dua nama yang ia temukan adalah milik figur publik, beberapa petinggi militer, sisanya masyarakat sipil. Dapat ditemukan pula nama beberapa kawan kuliahnya dulu sambil ia terus bergerak menuruni daftar.
Reza tiba-tiba berhenti, menyadari. Ia arahkan kursornya naik kembali. “Mereka ngapain, coba?” gumamnya heran.
Ia kembali bergerak turun dan berhenti pada nama Kirana. Menggunakan hak akses retasannya, ia buka nama itu dan terpampanglah barisan data mengenai sahabat perempuannya itu. Reza terpaku menatap layar sambil bertanya-tanya dalam hati.
Reza sendiri sampai sudah lupa. Merasa pekerjaan barunya ini lebih menarik, ia sampai tak lagi berpikir soal menguak rahasia gelap laboratorium bersama teman-temannya lagi.
Satu tahun lebih sudah berlalu sejak waktu itu dan mereka masih seserius ini.
Mendadak lamunan teralihkan oleh kursor yang tiba-tiba bergerak sendiri, disusul munculnya jendela yang menampilkan wajah mentornya sedang menyeringai penuh kemenangan. “Kamu meleset nol koma tujuh lima detik, nak,” ucap pria berjambul pirang itu sebelum terbahak.
Reza menahan sekuatnya agar tidak berteriak frustrasi mengingat lokasinya berada sekarang, ia justru lampiaskan dengan melepas headphone-nya kasar sebelum didaratkan pada pangkuannya. Setelah semua usaha yang ia lakukan, satu poin berharga kembali melayang. Seorang rekan kerja yang kebetulan lewat di belakang terkikik, sangat tidak memperbaiki situasi. “Apa?!” Reza mendesis pada rekannya yang lalu segera ambil langkah lebar ke biliknya di paling ujung.
Reza menenggak cappuccino-nya dengan tidak sabar bahkan hampir tersedak. Mentor sialan, belum sampai selesai aku membaca file-file penting itu, Reza merutuk dalam hati. Ia usap tetesan cappuccino di sudut bibirnya, kemudian bangkit dari kursinya dan beranjak ke pintu keluar.
“Kenapa dia?” tanya salah satu rekan kerja yang lain kepada temannya yang di bilik paling ujung tadi. Ia lihat pemuda bersurai hijau itu agak tergesa menuju pintu, kelihatannya dia kesal.
“Tahu. Dikerjain sama Bos, kali,” celetuk rekan kerja yang melihat gelagat Reza tadi.
“Hahaha, Bos Ganes, ya? Oh, iya. Aku denger-denger dia mau dipindah ke Lab Besar.”
“Lab Besar? Fasilitas baru untuk proyek alat kesehatan itu?”
Rekan satunya mengangkat bahu, “Entah apa yang Pak Gama pikirkan.”
“Eh?! Lalu siapa yang bertanggungjawab di sini?”
Reza mengambil langkah lebar hingga akhirnya sampai ke depan pintu dengan tulisan ‘Aldino Ganesha’ tertampil di layar digitalnya.
“Kenapa, Za? Kesal?” Terdengar suara familiar dari speaker kecil di samping pintu, disusul tawa tertahan dari sana.
Reza menggaruk kepalanya, ia menekan tombol dan membalas via mikrofon, “Menurutmu? Ijinkan aku masuk, aku mau ngomong.”
“Apa? Soal pacarmu tadi?” Ganes terkikik di dalam ruangan.
Reza menepukkan telapak tangannya ke wajah, pipinya sedikit menghangat namun ia biarkan. “Temen. Dia temen kuliahku, oke? Nah, sekarang tolong buka pintunya, Kak.”
“Iya, iya.” Sebuah desisan dari pintu hidrolik, Reza pun masuk ke kantor Ganes. Di sana ia temui pria berambut pirang yang tengah duduk di kursi kerjanya. Sebuah senyum lebar dan pose membetulkan posisi kacamata khas mentornya diberikan pada Reza. “Agaknya kemampuan membobol muridku ini sudah meningkat pesat, ya,” Ganes terkekeh.
“Tetap lah, Kak Ganes masih menang selangkah di depan,” Reza berdecak kesal. Padahal sedikit lagi ia bisa memperoleh bocoran informasi tentang kabar terbaru eksperimentasi itu.
“Jangan gitu, dong. Oiya, hal penting apa yang mau kamu bilang? Sekali lagi bukan soal gadis pink itu, kan?” Ganes mengangkat-angkat alisnya menyebalkan.
“BUKAN. Tapi sebelumnya, aku dengar Kak Ganes mau dipindah ke Lab Besar yang belum lama selesai itu.”
Ganes mengambil gelas kopinya dan meminum sedikit, “Yap. Sistem informasi di sana masih perlu pengembangan, terutama keamanannya. Gama butuh orang sekaliber aku buat mengerjakan itu, cepat dan tuntas.”
“Huu, sombong,” komentar Reza sambil memutar bola matanya. “Terus siapa yang bertanggungjawab di sini? Seingatku Kak Ganes nggak punya wakil atau semacamnya.”
Manik zamrud Ganes menatap keluar jendela, terlihat seperti menimbang-nimbang apa yang baru saja ditanyakan muridnya. “Sebenarnya… ada. Cuma belum resmi. Nah, berhubung kamu ke sini duluan, jadi aku nggak perlu manggil orangnya.”
“Eh?!” Mata Reza sedikit terbelalak. “Siapa, Kak?”
“Kamu, lah. Siapa lagi?”
Sebenarnya Reza memang sedikit berharap Ganes akan memilihnya, namun ia tahu masih banyak rekan kerja Ganes yang lebih ‘pro’ dibandingkan dirinya. “Serius? Yakin, Kak?”
“Jelas, kamu ini murid pribadiku. Lagipula tugasnya nggak seberat yang kamu kira. Kamu masih harus menyelesaikan kuliah juga, kan? Yang lain akan membantumu, jadi nggak perlu khawatir,” ungkap Ganes, bersandar santai di kursinya.
“Salah satu tugas utamamu nantinya, menyalin data yang dikirimkan dari Lab Besar ke sini dan mengamankannya di server pusat. Aku yakin kamu bisa mengenkripsi data sebagus aku.” Ganes menyeruput sedikit kopi dari gelasnya. “Nggak ada salahnya juga kamu membaca-baca informasi eksperimentasi dari Lab. Nggak perlu main bobol lagi, kan?”
Reza tertawa kecil, “Kak Ganes benar-benar bisa membaca pikiranku ya?”
Ganes hanya mengedikkan bahu dengan senyum simpul. Ia condongkan badan ke depan, lalu menopangnya dengan kedua lengan bersilangan di atas meja. “Oke, kamu mau ngomong apa?” mulainya.
Pemuda itu sedikit menyisir surai jambul belakangnya sebelum mengambil kursi di depan meja Ganes. “Aku melihat nama teman-temanku di daftar peserta eksperimen,” katanya.
“... Lalu?”
Reza hendak membuka mulut, namun kata-katanya tercekat. Ia pikir, baiknya mengatakan dengan cara lain. “Aku heran kenapa mereka mau ikutan jadi kelinci percobaan.”
“... Gitu aja?”
“... Iya, Kak.”
Ganes menghela napas, sedikit memalingkan muka. “Yah, kirain apa.”
“Jadi…?”
“Ya mana aku tahu?” Ganes membalas, pundaknya naik tak acuh. “Ngapain pula aku peduli motivasi mereka. Mereka memutuskan ikut ya selesai, nama mereka masuk database.
Muridnya tampak merenung.
“Kenapa jadi muram begitu? Itu keputusan mereka, Reza. Mau kamu cegah juga nggak bisa. Tahu kan, dilihat dari waktunya sendiri, mereka sudah diinjeksi dan menjalani serangkaian tes. Bahkan gara-gara kejadian kemarin itu, posisi mereka sekarang ada di Lab Besar yang jauh di luar kota. Makanya tadi aku bilang, boleh lihat-lihat informasi perkembangan teman-temanmu itu kalau kamu khawatir. Enak, kan?”
Tenang.
Tenang.
Reza pun mengangkat kedua bahunya dan berkata dengan pelan, “Baiklah.”
“Bagus. Jangan lupa, lima hari lagi kamu akan menggantikanku di sini. Tenanglah, aku percaya kamu pasti bisa,” ucap Ganes dengan memberikan gestur ‘cheers’ dengan gelas kopinya, senyum lebar terulas di wajah pria itu.
Reza membalas dengan senyum yang agak terpaksa, namun sepertinya sang mentor tidak menangkap itu pada air muka si pemuda. Ia pamit lalu melangkah kembali ke koridor. Ia putar kembali kata-kata Ganes dalam pikirnya.
Nama gadis itu tertera di sana.
Apa yang membuat Kirana bersikeras? Mungkinkah eksperimentasi itu tidak semengerikan yang Reza awalnya kira?
Mendadak bebannya sedikit terasa lebih ringan. Kesempatan barunya takkan ia sia-siakan.
= = =
Membuat kehidupan lebih mudah dan lebih baik.
IO Technologies pun berdiri dan mengucap janji. Bertahun-tahun sudah dilalui oleh raksasa teknologi ini memimpin manufaktur multiteknologi. Di atas sebidang lahan yang luas, terbangunlah sebuah kompleks yang terbagi atas dua blok; blok muka yang memuat perkantoran dan blok belakang untuk manufaktur. Keduanya saling bergandengan mengejar mimpi itu.
Dua sosok pria petinggi perusahaan teknologi terkemuka itu beserta para pengawalnya berdiri menunggu di depan pintu lobi. Nampak si pria dengan rambut pendek gelap yang terlihat sedikit canggung merapikan dasinya sebelum menepuk-nepuk tepi bawah jas biru pinstripe yang ia kenakan.
Pria kaukasian di sebelahnya, Daniel, menepuk pundak rekannya itu beberapa kali, “Santai, Bram. Kita sering kan, menyambut tamu. Tak seperti biasanya kamu gugup begini.” Manik yang berwarna senada dengan pirang rambutnya menyiratkan tatapan percaya diri.
“Yah, aku… Aku ada sedikit masalah di rumah, dan itu… sedikit, mengusikku.” Bram menghela napas. Masih saja masalah itu bercokol dalam pikirnya, istrinya yang bersikap begitu dingin dan mimpi yang sama setiap malam harus ia alami, mimpi yang begitu berbeda dengan kenyataan yang dialaminya. Namun ia harus berusaha mengesampingkan itu sejenak dan menyalakan kembali api percaya dirinya, yang harus ia siratkan dalam sepasang manik keemasan miliknya.
“Masih juga?” gumam Daniel, senyumnya sedikit memudar. “Gampang, Bram. Uang adalah jawaban masalahmu.”
Bram berjengit kemudian mendecakkan bibirnya. “Apa maksudmu? Hati wanita itu tidak bisa dibeli dengan uang, Dan.”
“Tunggu, tunggu. Sekarang kita pikir realistis saja. Mau menghidupi istrimu dengan apa? Lembaran daun? Ranting? Ini bukan jaman batu, Bram.”
“Kamu pikir aku tidak memikirkan itu juga? Bahkan dengan posisiku sekarang, aku sudah bisa investasi di banyak perusahaan mitra, beli apartemen, bahkan beberapa mobil sekaligus. Kamu pikir juga sudah berapa kali juga usahaku membuat hidupku dan dia seperti suami-istri sewajarnya selain menguras dompet, ha? Tapi Dania tidak mau itu semua,” Bram mendesis.
“Huh, bagiku tetap saja. Wanita sama dengan uang. Tidak hanya wanita, kekuasaan atau tahta? Dengan uang, dengan harta, semua dengan mudah jatuh ke tanganmu,” balas Daniel enteng, mengalihkan pandangan ke arah taman depan gedung.
Orang ini.
“Kalau belum pernah punya istri—apalagi pacar—baiknya diam saja,” Bram menggerutu.
“Tiga belas mantan, lebih tepatnya,” Daniel menjawab enteng. Bram spontan menoleh kaget.
Sepertinya mereka harus menyudahi cekcok lebih dulu. Nampak sudah barisan mobil tamu yang hendak masuk dari jauh.
“Itu kasusmu.” Bram mendengus lelah dan menggeleng, melanjutkan, “Aku butuh solusi.”
Daniel tertawa pendek dan mengangkat bahu, “Well, itu solusi. Menurutku dan bagiku.”
Tiga mobil sedan hitam berhenti di drop-off halaman depan gedung utama IO Technologies. Tamu-tamu mereka yang baru saja turun dari tiga mobil pertama, lima mobil lain menyusul.
Perdana Mentri. Mentri Kesehatan. Mentri Riset dan Teknologi. Mentri Pertahanan. Seorang Jenderal Angkatan Darat beserta para ajudan. Mereka telah hadir dan melangkah mendekat ke pintu utama. Pria-wanita berdandan necis itu menarik perhatian orang-orang yang kebetulan lewat di lobi.
Inilah alasan mengapa hingga kedua orang penting IO Technologies itu harus turun ke lapangan. Ya, hari yang penting untuk meyakinkan kepada pemerintah bahwa proyek dari Paramayodya yang bekerja sama dengan perusahaan ini layak dikembangkan lebih lanjut. Tidak hanya pada lingkup kota Ayodya, jika memungkinkan hingga ke seluruh negeri.
Daniel dan Bram kemudian menyambut dengan menjabat tangan para tamu satu per satu. Satu dua basa-basi singkat saling ditukarkan, sebelum perhatian mereka teralihkan pada pintu masuk dimana datang satu rombongan terakhir dengan atasan batik yang seragam.
“Nah! Selamat datang di IO Technologies, Yang Mulia Pangeran!” ucap Bram dengan senyum lebar, menyalami pria berusia tigapuluh tahunan itu. Iris kelabunya yang hangat seakan mendentingkan sesuatu dalam benak Bram.
“Terima kasih!” Pria yang disebut Pangeran itu membalas. “Sebelumnya maaf kalau Yang Mulia Raja tidak bisa ikut hadir. Beliau ada hal mendesak, jadi saya yang mewakili. Anda Pak Bram, bukan? Adik sepupu saya pernah bercerita tentang Anda.”
Pria dengan iris keemasan itu mengangkat kedua alisnya, terkejut. Kemudian kembali berusaha terlihat formal.
“Tidak apa-apa, Yang Mulia. Jadi, sepupu Yang Mulia adalah…?”
“Yang sekarang adalah kepala organisasi riset proyek ini.”
Daniel berusaha menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi rekannya yang begitu terkejut. “Baru tahu, Bram?”
Bram sedikit terbata, “D-dia, dia tidak pernah—”
“Dia memang begitu orangnya. Status keluarga bukan hal yang penting. Dia tidak akan mau bercerita kecuali dengan orang-orang yang paling dekat dengannya,” ungkap Sang Pangeran. “Dia memang brilian sejak kecil, jika melihat dia sekarang ternyata sudah maju sejauh ini. Saya jadi merasa bukan apa-apa dibandingkan dengannya, hahaha!”
“Begini, Yang Mulia Pangeran... Saya pikir kita sudah memiliki porsi masing-masing dalam hidup, kan?” balas Bram, disambut tawa mengiyakan dari yang lainnya. “Nah, mari, mari, kita mulai saja kunjungan istimewa ini. Kita langsung ke blok belakang.” Bram mempersilahkan begitu melihat Daniel mengantarkan tamu-tamu yang lain memasuki gedung.
“Awalnya kami sedikit ragu dengan permintaan IO Technologies untuk bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan mengenai distribusi chip terapi ini,” ungkap Mentri Kesehatan, wanita dengan surai cokelat bergelombang yang berjalan bersebelahan dengan Daniel. “Namun setelah kami teliti lebih jauh, ini bagus. Maksud saya—sebuah terobosan. Bahkan dari laporan-laporan kondisi lapangan yang saya terima atas percobaan implan pada pasien penyakit kronis saat itu menunjukkan hasil yang sangat memuaskan.”
“Tentu saja, Nyonya. Kami sudah menguji dengan saksama kinerja chip ini. Kami bisa menjamin chip ini aman, dan masyarakat sudah melihat banyak buktinya.” Daniel menanggapi dengan percaya diri.
“Ehm, permisi Pak Daniel—”
“Saya masih muda, sebut saja ‘Tuan’.”
“Eee, ya. Tuan Daniel… Ehem. Jika Anda dapat menjamin chip ini aman, bagaimana dengan berita dua hari lalu? Masyarakat tahu, ada yang tidak beres ketika Paramayodya, organisasi riset terbesar di negeri ini yang bekerja sama dengan IO Technologies—” sela salah seorang ajudan mentri. “—mengumpulkan begitu banyak… bagaimana menyebutnya, pasien? Ah, partisipan. Begitu banyak partisipan dalam terapi ini dikumpulkan untuk… direhabilitasi? Anda bisa mengklarifikasi mengenai berita tersebut?”
“Oh, mereka bukan direhabilitasi. Media ini ada-ada saja. Kondisi partisipan baik-baik, Pak. Hanya pihak lab membutuhkan pemeriksaan ulang secara massal mengingat rencana kami untuk merilis penggunaan chip itu ke khalayak. Mereka akan segera kembali dalam beberapa hari, jadi tenang saja,” ungkap Daniel.
Ajudan tersebut mengangguk walau Daniel tahu, pada raut wajah pria itu tersirat keraguan dan kecurigaan.
Untuk kedepannya, Gama harus melangkah dengan lebih rapi lagi, Daniel membatin.
Bram menghela napas lega di benaknya.
Tepat pula langkah mereka sudah mencapai taman tengah. Menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh rerumputan hijau, beberapa petak bunga dan pepohonan rindang, mereka menuju ke arah gedung besar di depan mata. Pangeran Mahkota pun sempat menghentikan langkahnya sejenak untuk mengamati kolam koi berbentuk lingkaran besar di tengah-tengah taman, air mancurnya melengkapi kesegaran, sebelum kembali ke rombongan dan melanjutkan perjalanan.
Gedung utama blok manufaktur itu terdiri atas dua lantai, membentang membentuk seperti tapal kuda bersudut tajam. Dindingnya tersusun atas jendela kaca kebiruan yang memantulkan bayangan cerahnya langit pagi itu.
“Ini kantor untuk distribusi beragam produk yang kami buat. Mau melihat-lihat sejenak atau langsung ke bagian manufaktur di lantai lima bawah tanah?” tawar Bram.
“Saya tertarik dengan proses manufakturnya, siapa tahu Kementrian Riset dan Teknologi bisa mencuri sedikit dan membuat terobosan yang lebih jauh dari IO Tech.” Rombongan pun menanggapi dengan tawa.
Menyeringai, Bram berkata, “Baiklah, Pak. Mari, kami tunjukkan sedikit resep rahasia IO Technologies.”
Memasuki lobi gedung, Bram dan Daniel membawa tamu-tamunya menuju koridor kanan. Tiga orang penjaga yang menyadari kehadiran mereka mengatakan sesuatu pada mikrofon kecil yang terpasang di telinga. Mereka diantarkan pada tiga elevator kosong beberapa meter di depan, yang lalu membawa semua pada lantai tujuan.
Ketika pintu elevator terbuka, mereka disambut oleh lorong dingin serba putih dengan satu garis biru melintang di dindingnya. Dengungan air conditioner terdengar ringan dari beberapa titik di pojok atas lorong. Koridor ke kiri dijaga ketat, menunjukkan bahwa hanya ada satu arah untuk mengamati proses produksi.
Kali ini, giliran sang Jenderal Angkatan Darat buka suara. “Apa yang ada di sebelah kiri?”
“Itu untuk manufaktur produk-produk lain. Kami membuat blok sendiri untuk produksi chip,” jawab Bram, memimpin rombongan di depan.
Setelah satu belokan, koridor berhenti pada sebuah selasar bercabang yang kedua aksesnya dibatasi oleh pintu baja kuat. Tepat di depan mereka, sisi dindingnya kini berupa tembok kaca yang memperlihatkan sebuah ruangan luas yang di dalamnya terdapat rangkaian mesin bergerak sistematis, sekitar empat meter di bawah dari posisi mereka saat ini. Beberapa orang nampak sedang mengoperasikan, satu dua lainnya sedang berkeliling dan mengamati.
“Ini… Luar biasa,” puji sang Perdana Menteri. Senyum lebar terbentuk di wajahnya, pandangan mata tak mampu lepas dari pemandangan di bawah sana. “Baru kali ini saya melihat yang begini.”
“Ya, demikianlah cara kami,” ucap Bram, bangga. “Sekarang, apa Bapak melihat orang itu? Rambut pendek, kemeja biru pucat, yang sedang berbicara dengan tiga personil itu?”
Semua pasang mata segera mencari orang yang Bram maksud. “Yang lengannya… uh, beda sebelah itu? Betul?”
“Iya. Insinyur terbaik kami, pemimpin produksi kami yang paling berharga.”
Pria yang dimaksud itu pun selesai dengan personil-personilnya, sebelum berbalik dan menyadari kehadiran orang-orang yang mengamati dari anjungan. Ia melihat Bram tengah melambaikan tangannya singkat yang lalu dibalas dengan satu anggukan ringan dan berlalu.
“Baiklah, saya pikir ini permulaan yang bagus!” celetuk Daniel, menepukkan kedua telapak tangannya dengan antusias. Senyum cerahnya kemudian diarahkan pada Sang Perdana Menteri yang jelas-jelas masih terkesima dengan apa yang dilihatnya. Kedua sorotan emasnya mengerling. “Jadi? Bagaimana tanggapan pemerintah atas ini?”
===
“Bukannya sedikit beresiko, mengantar orang-orang penting macam mereka ke bagian produksi?” gumam Naharis. Tetapi selama mereka tidak memiliki cetak biru cara kerja dari chip ini, aman; Bram pasti juga memiliki maksud tersendiri untuk membawa mereka ke sini, mungkin untuk meyakinkan mereka akan integritas dan kualitas perusahaan ini, pikir pria itu menjawab sendiri keraguannya.
Baru saja beberapa saat yang lalu ia melihat bosnya, Bram, sedang mengantar tamu-tamu penting dari pemerintahan ke blok manufaktur IO Technologies. Kini pria dengan rambut gelap berkilat kebiruan itu tengah duduk di ruang kerjanya. Jemari prostetiknya mengetuk-ketuk pulpen ke meja dan terkadang memutarnya.
Bertahun-tahun sudah Naharis bekerja di IO Tech bagian perancangan dan manufaktur. Keahliannya di bidang mekatronika membuat karya-karyanya dipuji, inovasi dan ide baru yang ia curahkan pada setiap rancangannya membuat rekan-rekannya berdecak kagum. Bisa dibilang, Naharis lah salah satu orang di balik layar yang membawa nama IO Technologies menjadi yang terdepan.
Naharis meraih bungkus rokoknya yang ada di ujung meja, agaknya ia butuh nikotin untuk memacu otaknya berinspirasi. Satu batang ia ambil dan pemantik baru akan menyulutnya, ketika sebuah bunyi denting disusul pintu hidrolik yang terbuka menghentikan niatannya.
“Masih juga menghisap benda itu, Haris?” Seorang pria berambut pirang tersisir rapi dengan jenggot tipis memasuki ruangan membawa sebuah komputer tablet.
“Oi, Bob. Kau mengganggu waktu pribadiku, tahu.” Naharis tertawa pendek, ia urungkan niatnya untuk menghisap batangan tembakau itu.
“Kalau mau, kau bisa menemaniku menyulut benda itu nanti,” ucap Bob yang kini mengoperasikan tabletnya. “Ini, laporan harian yang biasa.”
Naharis menerima komputer tablet yang diberikan Bob, matanya merunut dari atas ke bawah. Satu tangan mengelus dagunya sendiri. “Agaknya bahan baku pembuatan chip ini berkurang cukup banyak setelah Paramayodya meminta pembuatan chip EXT,” sebutnya.
Pria berambut pirang itu mengangkat bahunya, “Demikianlah. Bagaimana pendapatmu, apa yang kau lihat dari pemrograman mekanisme chip tipe EXT itu?”
Naharis diam sejenak, kemudian ia mengetuk mejanya dengan pola tertentu. Sebuah laci kecil—cukup kecil karena hanya dapat memuat 6 kartu memori mikro—terbuka di sisi meja. Satu kartu memori ia pasangkan pada komputer tablet itu, segera perangkat itu melakukan sinkronisasi dan menampilkan sebuah cetak biru chip yang Bob maksud tadi.
“Ini adalah rancangan yang mereka berikan dan aku sempurnakan. Basis data yang mereka gunakan hampir sama dengan versi awal, hanya saja ada penambahan,” ucap Naharis sambil memperlihatkannya pada Bob. Rekan kerjanya itu mengerutkan dahi.
“Uhh… Naharis, aku bukan ahli fisika kuantum atau apapun itu, bisa kau jelaskan tambahan data ini?” Bob menunjuk ke layar komputer tabletnya.
Naharis mendengus, “Aku sendiri pun tidak paham. Baiknya kita lihat model simulasi aktivasi chip tipe EXT itu.” Jemarinya cekatan menekan beberapa tombol menu di atas mejanya, pengaturannya membuat jendela besar di belakang punggungnya menggelap. Lampu di atas kepala mereka turut meredup sebelum padam. Cahaya komputer tablet milik Bob dan berkas remang dari meja Naharis yang hanya menerangi ruangan itu sekarang. “Tampilkan bentuk hologramnya di meja ini dan kau akan mengerti,” ucapnya.
Bob mengoperasikan tablet itu dan sekejap sebuah model tiga dimensi berupa hologram chip tersebut muncul pada meja Naharis. Pemodelan aktivasi chip pun dijalankan.
“Kau pasti tahu, energi yang dikeluarkan dari chip direpresentasikan dengan pola gelombang dan warna. Jika dibandingkan dengan chip  versi awal—” Naharis memasukkan kartu memori lain ke slot di mejanya, sebuah model lain muncul. “—pola energi yang dikeluarkan berbeda.”
“Sepertinya tambahan data ini mengenai konversi energi ke pola yang sudah ditentukan ya?”
“Ya, seperti penyeragaman. Setiap orang yang memakai chip ini akan mengeluarkan energi yang berpola sama dari sumbernya.” Naharis bersandar santai pada kursi kerjanya.
Bob mengamati kedua model di hadapannya dan menyadari sesuatu. “Sumbernya—sebentar. Tiap orang memiliki pola energinya sendiri, kan? Penyeragaman? Jadi mereka dipaksa?
Naharis mengedikkan kepala, “Ya, dipaksa untuk diseragamkan. Tahu kan, seperti rumus rata-rata? Chip EXT diambil dari pola energi dua orang personel keamanan lab yang ‘itu’. Pola energi orang-orang yang memakai chip EXT akan dipaksa agar polanya sangat mirip dengan pola energi mereka berdua itu. Tidak seidentik copy-paste, jelas. Tapi tahu kan, maksudku?”
Pria pirang berkulit sawo matang itu tertawa, “Analogimu sesuai dengan logikaku. Jadi, penyeragaman, implan, banyak partisipan...? Perasaanku mengatakan kalau chip EXT ini menyeramkan. Sangat menyeramkan.”
“Ck. Aku ogah berspekulasi begitu. Tapi jika aku jadi Jenderal Angkatan Darat yang tadi hadir di sini, aku akan menggunakan chip ini untuk membuat pasukan super,” kata Naharis, kedua lengannya ia lipat di dada.
Bob memandang ke arah kaca di sisi kantor Naharis yang menghadap ke ruang manufaktur dan bergumam, “Mereka membuat pasukan...” Jemari Bob kemudian membuat pola pada komputer tabletnya dan otomatis perangkat itu menjalankan aksi tertentu.
“Yaaah, kau yang minta pendapatku, itu yang aku berikan. Pusing mikir konspirasi seperti ini, eh?” Naharis mengambil kembali batang rokok yang belum sempat ia nikmati tadi. Bob tertawa kecil kemudian menggelengkan kepalanya.
“Sisakan beberapa batang untukku nanti,” ucap pria pirang itu sambil mengembalikan kartu memori milik Naharis kemudian pamit beranjak ke luar ruangan.
= = =
Bob mengamati angka pada jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Syukurlah semua pekerjaannya tuntas sehingga ia dapat pulang lebih awal. Ia masuki apartemennya yang sepi, menyalakan lampu sebelum meletakkan tas pada sofa. Beranjak sejenak, ia mengambil segelas air dari dapur. Sebuah komputer tablet ia keluarkan dari tas itu yang lalu disanggakan pada permukaan meja. Dibukanya sebuah aplikasi komunikasi, ia cari sebuah nama sebelum menekan tombol untuk melakukan video call.
Reaper Blondie… Bob mencibir dalam hati atas username orang yang akan ia ajak bicara sambil memijat pelipisnya, lelah.
Cukup menunggu tiga detik, sisi seberang merespon dengan munculnya seorang lelaki berperawakan kekar berambut pirang pendek dengan potongan undercut. Mata biru langitnya menyorot tajam, bibirnya tertarik ke atas membantuk seringai. Ia mengenakan kaos merah terang, di tangannya terdapat sekaleng bir.
“Yo, Derrick,” ucap Bob. “Kapan ganti username?
“Eee, dateng-dateng langsung nyuruh ganti username. Ogah. Memang ada yang tahu kalau aku ini kriminal?” balas lelaki di seberang, Derrick.
“Ada, tolol. Kelompok lain gampang menebak dari julukan bodoh Reaper-mu itu.”
“Yang punya nama ‘Reaper’ nggak cuma aku saja, bego. Udah ah, buruan laporanmu. Dasar muka tua,” balas Derrick, meminum sedikit birnya.
Bibir Bob terangkat sebelah. “Brengsek, berani juga. Lupa kalau aku lebih tua?”
“Nggak, pak. Sori aku nggak pikun.”
Bob tertawa pendek. “Jadi… Berita bagus, Naharis menunjukkan padaku blueprint chip terbaru mereka. Kamu ingat kan, info terakhir soal divisi keamanan Paramayodya kebanyakan rekrutmen dari mana?”
Derrick mendecakkan bibir. “Kelompok Laut Selatan. Keparat itu udah bergerak, eh?”
“Nggak cuma itu. Mereka meminta IO Tech membuat chip baru ini dalam jumlah besar. Yang kulihat dari pemodelannya, chip ini nggak main-main. Mereka akan menggunakannya untuk senjata. Mereka membuat pasukan. Lihat.” Bob membentuk pola yang sama pada tabletnya, seperti yang dilakukan di kantor Naharis pagi tadi. File cetak biru chip tipe EXT itu kemudian ia kirimkan ke lawan bicaranya.
Derrick mengernyit. Ia amati saksama perbedaan chip itu dengan chip versi awal. Bob mengetuk-ketuk meja menunggu tanggapan rekannya. Tak lama tawa geli terdengar di seberang.
“Goblok, mereka semua. Mau-maunya bergantung sama kacang logam ini, hahahaha!”
“Kacang logam… Benda itu bukan barang sembarangan, oi. Kita bahkan belum tahu efeknya pada anak buah mereka,” sela Bob.
“Heh, Bobby. Nggak perlu bergantung sama sampah macam itu, sebenarnya kita bisa menjadi lebih dari yang lain. Contohnya? Aku.” Derrick terbahak kemudian meminum bir kalengannya.
“Sombongnya, mati tersedak sana.”
“Mereka ini menyedihkan, bergantung sama teknologi yang bahkan belum jelas sepenuhnya ngasih untung. Dengar-dengar beberapa dari pemakainya justru jadi bukan manusia lagi.” Derrick melempar kalengnya yang sudah kosong ke sisi ruangan. Raut wajahnya berubah serius sekarang. “Sejak awal aku nggak setuju sama ide ngawur ini. Sembarangan mereka buka paksa kebatinan orang biasa. Iya kalau orang-orang itu kuat. Kalau sebaliknya? Pilihan cuma dua: entah badan atau mental mereka hancur. Atau dua-duanya. Sisi lain itu ini seolah melecehkan orang-orang sepertiku sebagai orang yang ‘terbuka’ dari awal. Sialan… nggak tahu mereka rasanya gimana. Bertahun-tahun latihan mengendalikan itu jadi berasa nggak ada gunanya.”
“Bukan berarti yang berhasil bertahan nggak berbahaya. Derrick, kita harus pikirkan semua kemungkinan. Termasuk adanya rencana penyerangan besar-besaran ke markas besar.”
Derrick terdiam beberapa saat sambil mengamati cetak biru yang Bob berikan. “Kalau hal itu terjadi, maka terjadilah. Udah saatnya aku mengakhiri yang kumulai dengan tanganku sendiri.” Pemuda itu mengambil pisau di meja dan meraba mata pisaunya.
“Si keparat merah itu, akan benar-benar kuhabisi. Klan Laut Selatan, tidak tersisa lagi!” Sebuah hujaman keras, pisau tadi Derrick tancapkan dalam-dalam ke meja kayunya.
Terjadi jeda yang cukup lama, Bob hanya mampu menelan ludah. Atmosfer terasa berat, dapat dilihatnya jelas sorotan mata Derrick yang menunduk tengah merapalkan mantra haus darah.
“... Oke. Aku harap kamu benar-benar punya rencana, Derrick. Luput selangkah, tamatlah kita,” kata Bob hati-hati, mengingatkan.
“Yeah. Pastikan langkahmu juga. Jangan terlalu mencolok, jangan sampai mereka mengetahui identitasmu sebenarnya. Kabari lagi, jangan lupa.”
Koneksi pun terputus. Bob menghela napas, ia tahu sesuatu yang besar akan terjadi. “Tinggal menunggu waktu,” gumam pria berambut pirang itu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Cepat atau lambat tirai akan dibuka. Pesisir Utara atau Laut Selatan, hanya satu yang akan bertahan.
Kemudian tadi Derrick menyebut soal penggunanya, dan teringat pula komentar Naharis pada hal yang sama.
Pasukan super?
Monster?
= = =
Lapar.
Perasaan apa ini. Hampa.
.
Hasrat kami harus terpenuhi.
.
Siapa? Dua suara yang berbeda bersahutan dalam pikirku.
.
Ayo, nak. Bangkitkan kami.
Ya, mudah. Jatuhlah dalam hasratmu.
.
Mungkin aku terlalu lelah, mungkin aku benar-benar harus beristirahat.
.
Kecaplah rasanya sekali, kau akan menyukainya.
Tentu, rasa yang nikmat dari sebuah dosa.
.
Sialan, tawa mereka menggema. Semakin keras dan keras tiap harinya. Sensasi aneh menjalar dari ujung-ujung jemari tanganku hingga ke tengkuk. Seakan ada yang hidup dan mengalir di sana.
Anehnya, saat tawa mereka berhenti, aku tak ingat apa-apa lagi. Yang kulihat di sekitarku setelahnya hanyalah, kekacauan. Ya, ini kacau, dan—
.
Kami mau lagi. Lagi! LAGI!
.

# # # Continued in The Next Chapter # # #

(A/N)
Fay: Akhirnya bisa update juga. Things getting darker~
Agon: Maafkan ya lama updatenya, urusan this and that *sigh*. Oya, satu karakter ditambahkan di sini, guess who?

No comments:

Post a Comment