Wednesday, October 14, 2015

Case #9.1

Balok-balok es berdenting menyentuh tepian gelas kecil, mengapung pada cairan bening keemasan tipis. Tegukan terakhir, Arya menaruh gelasnya yang dingin dan basah, ia mendecakkan bibir.
“Masih kurang?” si gadis bartender bersurai kelabu berkata, tangannya hendak mengambilkan botol lain untuk dituangkan.
Isyarat satu tangan dari Arya. “Nggak, udah cukup,” ucap pria kecil berjaket kulit itu kemudian menaruh kepalanya di tepi meja bar. Musik blues mengalun pelan memasuki telinganya.
“Kenapa? Masalah kerjaan?” Rengganis mengambil gelas kosong dan mengelapnya.
“Uhh… Yang masalah bukan kerjaannya sih.”
“Kamu berantem lagi sama… Siapa? Bocah dekil berambut gelap itu?”
“Wira.”
“Nah, iya?”
“Nggak. Aku malah khawatir sama dia.”
Rengganis mengangkat satu alisnya, tangannya selesai mengelap satu gelas dan segera mengambil yang lainnya. “Kamu khawatir kenapa?”
Arya mengangkat kepalanya, menatap ke wajah saudari kembarnya kemudian menaruh lagi dagunya di meja.
“Wira sama Dana aneh akhir-akhir ini. Si Wira sering bicara sendiri, kadang ngelempar barang ke tembok padahal nggak ada apa-apa. Yah… walau dia emang indigo, tetap lah… Selama ini Wira nggak pernah sampai segitunya.”
“Terus? Kalau si bos?”
“Dana… Ehm, dia...” Arya menjilat bibirnya, menegakkan punggung dengan canggung. Matanya melirik sana-sini mencoba mencari kata-kata yang mungkin sedikit lebih nyaman untuk diperdengarkan.
“Jangan-jangan… Main cewek, ya?” tebak Rengganis, satu alisnya naik menyelidik.
Arya mengibaskan tangan. “Ah, udah dari dulu. Tapi kali ini… yang dia bayangkan... beda.”
“Hah?”
Arya menelan ludah, nada bicaranya bergetar, “C-c-ce-cewek mana coba, yang punya nama… A-A-Adrian?!”
Rengganis spontan melayangkan tangan menutupi bibirnya, lekuk pipi jelas menunjukkan dirinya menahan tawa yang berusaha meledak. “K-kamu nguping?! J-jadi selama ini—” kekehnya.
“L-l-lupakan, lupakan!” Arya mengibas-ibaskan kedua tangan sebelum ia sembunyikan muka pada telapaknya. Ia bergidik, geli rasanya. Teringat ketika ia tak sengaja mendengar suara-suara aneh dari dalam kantor si rambut merah saat akan menuju gudang. Iseng, ia dekati pintu dan menempelkan kupingnya ke sana. Nama tertentu itu seolah mengalir tanpa hambatan.
Yang jelas-jelas bukan nama seorang wanita, batin Arya. Manik matanya melihat Rengganis yang matanya mulai berair dan wajahnya memerah, masih menahan tawa.
“Ooohh, diamlah! S-semua orang pernah nggak sengaja nguping, kan?!” gerutu Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hampir seluruh pasang mata di ruangan itu mengarah pada Rengganis yang akhirnya tertawa lepas, geli akan wajah saudaranya yang begitu canggung. Juga, ia geli mendengar cerita Arya yang secara tidak langsung mengatakan bahwa bosnya, Dana si Setan Merah, adalah seorang yang orientasinya berseberangan dengan orang biasa.
Kekehan Rengganis dengan sabar Arya tunggu hingga selesai, sambil menunggu ia meletakkan kepalanya kembali ke meja.
“Udah?”
“Hehe... U-udah.” Rengganis terbatuk sebentar sambil mengelap air mata yang menggenang di sudut matanya karena terlalu banyak tertawa.
“Kemudian, Wira ini...”
“Pacarmu?”
PARTNER. Ehm, dia semakin sering marah-marah. Well, sekarang Raihan udah jadi salah satu korban amukannya.”
Rengganis kemudian mengangguk-angguk, terbayang kemampuan pemuda berkulit sawo matang itu membanting orang dengan begitu mudahnya. Gadis itu melihat sendiri, seberapa destruktif kekuatan rekan Arya saat dua orang itu berkelahi di tempat kerjanya.
“Bocah itu makin merusak saja akhir-akhir ini,” Arya menghela napas lelah. “Pernah dia sampai menjebol dermaga yang di dekat gudang. Pasti efek chip itu udah muncul...”
“Chip—oh… Terapi kesehatan Paramayodya yang sering disiarkan itu,” sahut Rengganis sambil mengelap gelas.
“Itu bukan alat terapi kesehatan,” balas Arya lirih.
Jeda sekian detik. “Bukan?”
Saudara lelakinya menatap lurus Rengganis, sorot yang menyiratkan kecemasan menemani kalimat setelah itu yang hanya bisa didengar keduanya saja. “Chip itu merubah orang, Nis. Permanen. Luar-dalam.”
Gadis itu terdiam, ia letakkan hati-hati gelas besar yang dipegangnya pada meja bar. “Luar-dalam maksudnya? Kamu bercanda,” ucapnya.
Arya hanya diam, tak melepas fokus matanya sekecil apapun.
“Kamu serius.”
Sepasang manik keemasan dari si pria kecil menatap ke arah lain, ia bergumam, “Dan nggak akan lama lagi… giliranku dan yang lain-lain.”
Dengusan pelan terselip dari celah bibir Rengganis. Kesal, ia mencondongkan badan di depan saudaranya, kedua lengan yang dilipat menopang tubuhnya di konter bar. “Kamu tahu, Arya?” ia memulai, “Sepulang nanti kita bakal diskusi. Panjang.”


= = =

Variable X

Case 9.1: Vices

= = =



Salah satu pojok kota yang sepi nampak remang lantaran bulan nyaris tak mampu menembuskan cahayanya turun. Badan seorang pria berambut gondrong dibanting keras ke arah tembok. Pelipisnya yang terbentur mengalirkan darah. Pandangannya kabur, perih, sakit di sekujur tubuh membuatnya kepayahan untuk berdiri. Walaupun tak begitu jelas, ia melihat seseorang mendekat—pemuda berambut gelap yang melemparnya tadi.
Dia monster, pikirnya saat merasakan cengkeraman satu tangan pemuda itu di kerah bajunya.
“Apa yang kau tahu soal bos Pesisir Utara? Kau mengenalnya?”
Pemuda ini tak kehabisan napas sedikitpun. Bahkan setelah menghabisi lima orang lain sebelum beralih pada lelaki gondrong itu.
Lelaki malang ini menelan ludah. “...Tidak, kami jarang bertemu langsung dengannya.”
“Jujur, keparat! Apa aku harus melemparmu sekali lagi dan merobek mulutmu agar kau mau bicara?!” Manik hijau keemasan Wira menatap dalam-dalam iris lawannya, seakan menelan segenap keberanian dan cahaya dari mata lawannya itu.
Orang ini tidak main-main.
“B-baik, baik. Aku akan bicara...”
“Bagus. Sekarang katakan, siapa dia, di mana dia sekarang.”
Lelaki itu seolah mendengar suara detik waktu yang menggema dan terus berjalan dalam kepalanya, mengingatkan maut kini ada di hadapannya. Otaknya berusaha mencari informasi, mengingat-ingat tentang orang yang ditanyakan. Jeda beberapa detik dalam kesunyian, mulut lelaki itu seolah terkunci. Pupil matanya menyempit menandakan ketakutan. Otaknya seolah macet, tak menemukan apa-apa.
Wira mendecak. Cengkeraman berpindah ke leher pria itu, mempersempit jalan napasnya. Lelaki itu meronta. Namun tenaganya hilang entah ke mana, seakan diserap seluruhnya oleh cengkeraman Wira.
“Tetap tak mau bicara, sampah? Baik. Akan kulakukan apa yang kukatakan tadi. Sungguhan,” Wira mendesis.
Energi besar mengalir pada lengan Wira, mempersempit jalur napas orang yang ia cengkeram. Ketika hendak melempar, susah payah lelaki itu berbicara.
“A-akh… B-bos… Pesisir k-kkh-Utara—”
Wira menghentikan gerakan lengannya, “Ya? Siapa? Katakan. SEKARANG.”
“Kkh—Aku t-tak tahu namanya, t-tapi julukannya—Reaper, pencabut nyawa.”
“Kau bercanda.” Jemari tangan Wira kembali mengcengkeram erat leher pria itu, hendak melanjutkan yang tertunda.
“Ti-tidak! Ngkkhh—A-ampun! A-akh-ku s-sungguhan—”
“Persetan.” Sekian detik setelahnya kembali tubuh lelaki itu melayang dan membentur tiang lampu. Saking kuatnya lemparan Wira hingga tiang tersebut bergetar dan nyaris memutus aliran listrik pada bohlam, bahkan terdengar tulang belakang pria itu yang patah.
Pemuda berambut gelap itu membuat gerakan seperti membersihkan tangannya dari debu, “Payah. Para sampah ini lemah.”
“Jalur belakang aman. Mendapat sesuatu, Wir?” Suara berat dan dalam terdengar dari arah punggungnya.
“Belum, Dan,” jawab Wira singkat. “Arya?”
“Dia dan yang lain kuminta jaga di area depan.” Dana mendengus, “Aku masih tak habis pikir kelompok yang kita datangi ini amatiran. Cukup sedikit menarik perhatian semua penjaga ke pintu utama, pertahanan luar jatuh kurang dalam satu menit.”
Wira tersenyum mengejek, “Pesisir Utara mau-maunya bekerjasama dengan kumpulan kecoa—trik bisnis mereka memang tak bisa dianggap remeh, sayang nol di urusan pertahanan diri.”
Dana mendehem. “Yah... Kadang hal tak terduga pun bisa terjadi. Di dunia macam ini, pula.”
“Masih ada beberapa cecunguk di dalam. Pemanasan buatmu, mungkin?” ucap Wira.
Perhatian mereka lalu menghadap pada sebuah pekarangan luas yang gersang, sebuah bangunan besar berlapis baja berdiri kokoh di tengah-tengahnya. Dua daun pintu besar nampak tertutup rapat, rangkaian kunci besar menahan rapi seolah menyombongkan diri bahwa tak ada seorangpun yang mampu menembus pertahanannya.
“Justru sisanya ada di sini. Tapi kelihatannya pintu terakhir ini dikunci dari dalam,” ungkap Dana sambil menyilangkan lengan di dada. “Bukan tipe kunci yang kukenal. Tidak ada jendela, ventilasi di atas terlalu sempit. Dari apa yang kita punya sekarang nampaknya masih belum cukup kuat untuk menjebol masuk—Wira, apa yang kau lakukan?”
Wira berjalan pelan mendekat, mondar-mandir sambil matanya menelusuri tiap inci pintu baja berat itu. Dilintinglah lengan jaketnya sampai diatas siku, kemudian telapak tangan meraba-raba permukaannya yang dingin dan berhenti pada satu titik.
Dana perhatikan kemunculan pendaran bercabang merah menyala dari tengkuk Wira, menjalar naik sampai di tepi sisi wajahnya sementara cahaya putih panas perlahan memenuhi kedua pasang mata. Jalaran pendaran merah itu juga mulai memenuhi lengan Wira, permukaan baja dibawah telapak tangannya mulai menyala merah panas dan berasap. Perhatian Dana kemudian teralihkan pada jaringan kulit luar lengan Wira, yang menangkap refleksi merahnya baja, dari ujung jari sampai bagian yang tertutup kain mulai menghitam dan mengeras bersamaan dengan permukaan pintu yang semakin panas.
“Wira, kau—bagaimana—”
“Entah... Tiba-tiba muncul begitu saja di kepalaku. Mungkin aku sudah mulai bisa mengontrol efek chipnya.”
“... Kau belajar cepat, huh.”
Wira sedang mencoba untuk melelehkan pintunya.
“Wira, kita pikirkan cara lain. Tanganmu—”
“Dan, lihat. Tanganku masih utuh. Tidak sakit sedikitpun.”
“Kau tahu baja itu sekuat apa.”
“Aku mau tahu batasku sampai mana.”
Dalam rentang detik, Dana perhatikan tangan Wira yang makin terbenam dalam lelehan. Telapak itu berpindah-pindah menyapukan panas ke bagian-bagian terdekat. Lelehan membesar. Tak dirasa cukup cepat dengan satu tangan, Wira meletakkan satu tangannya lagi.
Nampaknya apa yang dilakukan Wira cukup menguras energi, jelas dari hembusan napasnya yang mulai memberat dan keringat yang bercucuran. Tidak mengurungkan niat pemuda itu untuk terus melelehkan, untunglah. Dana tak tinggal diam, ia posisikan diri di belakang murid pribadinya kemudian meletakkan kedua tangan di punggung Wira. Piringan merah marunnya terpejam, berkonsentrasi mengingat sebuah cara yang Wira ajarkan padanya beberapa minggu lalu. Energi murni mengalir, menjalar pada setiap mili pembuluh Wira dan memberikannya tenaga lebih.
Dana membatin, mungkin seperti ini panasnya area tungku pada pabrik besi. Hawa panas yang menjalar cepat membuatnya mulai berkeringat deras.
“Sedikit lagi…” Wira berbisik.
Lubang mulai terbentuk, lelehan yang masih mengganjal didorong masuk. Wira lebarkan satu-satunya jalan ke dalam gudang itu hingga cukup besar untuk keduanya bergantian melompat ke dalam.
Gudang itu cukup luas. Diterangi hanya dengan dua lampu gantung di langit-langit, nampak deretan kotak berat dari beragam bahan disejajarkan rapi pada tepi-tepi ruangan dan beberapa lagi mengeliingi tiang penyangga. Terdapat peron lantai dua yang lantainya dibangun dari rangka baja mengelilingi tiap sisi gudang, terdapat deretan kotak berat lain padanya.
Setibanya, mereka disambut oleh sepuluh orang bersenjata tajam membuat perimeter melindungi seseorang. Pendaran merah pada Wira pun padam. Ia lalu terkekeh melihat raut wajah mereka; rasa takut manusia ketika menghadapi apa yang tidak diketahuinya.
Dana tertawa dalam hati saat merasakan adanya presensi lima belas orang lain bersenjata api di lantai atas, tersembunyi di balik tumpukan kotak dan rangka-rangka bangunan. Pola gelombang energi menunjukkan kesiagaan begitu mereka melihat dirinya dan Wira memasuki ruangan.
Dana benar-benar puas atas chip luar biasa yang telah tersemat rapi di dalam tengkuknya itu.
“Oh… Tamu spesial, rupanya. Dana... si Setan Merah.”
Seseorang dengan setelan jas hitam, dasi senada, rambut hitam yang disisir rapi ke belakang dengan beberapa helai uban terselip di antaranya serta jenggot tipis pada dagunya. Mulut yang menampakkan seringai paksa tengah menggigit sebatang cerutu dengan ujung yang masih membara dan mengepulkan asap tipis ke langit-langit.
“Aku hanya ingin memperoleh informasi, Richard. Kita bisa pakai cara halus,” mulai Dana, berjalan pelan mendekat.
Lelaki paruh baya itu mendengus, menghisap cerutunya dan berkata, “Apa ini? Kau melunak? Hahah! Nak, dalam bisnis ini tak ada ampun bagi yang lembek.”
Wira menghela napas, ia kepalkan tangan kuat-kuat. Tak sabar baginya menghantamkan wajah-wajah songong ke lantai atau mematahkan tiga hingga lima rusuk mereka. Dana yang merasakan hal itu memberikan isyarat kepada muridnya untuk menahan nafsu membunuh itu sejenak.
“Aku hanya mau informasi. Nama partner bisnis kalian, bos dari keluarga Pesisir Utara dan di mana dia sekarang,” lanjut Dana.
Pria berusia empat puluh tahunan itu membalas, “Oooh… Balas dendam? Sudah kuduga cerita itu memang benar. Hari di mana sang Pencabut Nyawa menghabisi keluargamu.”
Kini giliran Wira yang memperhatikan perubahan emosi Dana, sekilas memang tak ada perubahan ekspresi. Datar seperti biasanya. Namun Wira tahu dari manik merah Dana, ada api besar membara di sana.
“Sudah kubilang. Yang kuinginkan hanyalah informasi. Tidak lebih. Aku masih ingin menghargai nyawa kalian semua,” Dana berkata dengan nada datar.
Wira mengangkat satu alisnya, menghargai nyawa orang-orang brengsek ini?
“Tidak semudah itu, bocah. Kau tahu berapa banyak anak buahku yang kau habisi di luar sana.” ucap Richard sebelum mengibaskan tangan.
Serentak sepuluh anak buah pria itu mengelilingi Wira dan Dana dengan mengacungkan senjata tajam ke arah mereka. Golok, katana, belati.
“Harus berapa kali aku mengatakan ini? Aku datang bukan untuk mencari masalah. Mereka menyerangku duluan. Tidak salah untuk melindungi diri, kan?” ungkap Dana sambil memasukkan kedua tangan ke kantong celana. Nadanya tenang, tak peduli pada bilah-bilah logam tajam yang tidak tahu kapan akan segera menyayat tubuhnya.
“Tetap saja, nak. Lagipula anak lembu mana yang cukup bodoh untuk masuk ke kawanan singa?”
Secercah seringai tipis merekah pada wajah Dana. “Singa? Sampah seperti kalian?”
Pria paruh baya itu mengepulkan asap dari mulutnya. Irisnya menunjukkan kejengahan. “Cukup. Habisi mereka.”
Sebuah sabetan vertikal dari kanan Dana mengarah ke kepalanya. Dengan satu tangan Dana menggenggam pergelangan musuhnya dan memelintir lengannya tanpa ampun. Anak buah yang tangannya dipelintir itu berteriak melihat bentuk tangannya tak normal lagi.
“Sampah-sampah ini tidak punya hasrat untuk membunuh, Richard. Para idiot ini ketakutan. Biar kutunjukkan…” Seringai Dana makin melebar. Dalam kegelapan, jelas sekali terbentuk pola retakan berpendar merah muncul dari leher hingga ke pipinya. “... hasrat yang sebenarnya.”
Cerutu di mulut pria itu nyaris terjatuh atas apa yang ia saksikan.
Wira melemaskan jemarinya. “Boleh kan, Dan?”
Sejenak kemudian Wira sudah melayangkan kepalannya ke wajah musuh yang terdekat. Terpental menghantam tembok seberang ruangan, gigi-gigi mereka seketika terlepas disusul oleh kentalnya darah yang keluar dari mulut. Tak segan pula Wira mencekik dan melempar musuh-musuhnya hingga menghancurkan beberapa kotak kayu yang ada di gudang itu. Ia meraung, menginjak kaki musuhnya yang terkapar hingga terdengar suara retakan tulang disusul teriakan kesakitan.
Dengan cepat Dana meraih dua hingga tiga bilah pisau dari balik jaketnya, sejurus kemudian pisau itu sudah menancap pada dada musuhnya. Seorang pria dengan katana berusaha menyayat leher Dana. Cepat tanggap ia menunduk, menyapukan kaki menjegal penyerangnya hingga terjerembab. Dana ambil sebilah pisau lain dan segera menancapkannya tepat pada jantung musuh. Lelaki itu tak bergerak dengan darah segar mengalir dari lukanya.
Wira menyeret satu musuh pada kakinya kemudian melemparkannya hingga terkapar di depan kaki Richard. Anak buahnya itu mengerang, dari pelipis dan mulutnya mengalir darah, lebam pada seluruh wajah. Pria itu menelan ludah, dalam waktu singkat setengah dari pengawalnya gugur. Ia melirik ke lantai atas, berharap pasukannya yang lain siap.
“MANA LAGI? Keluarkan semua RONGSOKMU!” Wira berseru kemudian menghantamkan seorang wajah pengawal malang lain yang menyerbunya ke kotak-kotak kayu hingga berdarah. Belum puas, ia pelintir lengan lelaki itu hingga meraung kesakitan. Belum cukup, Wira hantam ulu hati anak buah Richard dengan lututnya.
Ya, Wira menikmatinya. Semua kemarahan itu ia lepaskan, memberinya kekuatan. Tak akan pernah habis, kemarahan itu akan selalu ada, membara dalam dirinya.
Satu per satu anak buah Richard mereka habisi. Tersisa tiga orang yang kini perlahan mundur dan membuat kembali formasi perlindungan untuk bosnya. Wira dan Dana mendekat, mereka dapat melihat ketakutan pada mata ketiga pengawal itu.
“M-mundur! Atau kami tidak akan segan-segan menggorok lehermu!”
“Menggorok leherku? Bukan kebalikannya?” Dana menyeringai sembari mengeluarkan sebilah pisau lain dari lengan jaketnya. Jemari dengan terampil memutar pegangannya dan tanpa melepas pandangan, mendadak ia lempar pisau itu ke arah atas, satu orang dengan senjata api roboh dan jatuh di atas pengawal yang mengancam Dana tadi. “Mau membuat kejutan, huh? Richard? Gagal.”
“Mundur, bocah. Kau tak ingin tergores golok ini,” ancam pengawal yang lain pada Wira. Wira mengangkat alisnya dan tertawa. Pengawal itu sontak mengayunkan goloknya, namun dengan santai Wira menahan sabetan sisi logam yang tajam dengan satu tangan.
“Keahlian kalian, nol.” Wira merebut golok itu dan menusukkannya dalam-dalam ke tubuh lelaki malang itu. Tak lama, ia cabut golok itu dan melemparnya ke arah atas. Satu orang dengan senjata api roboh kembali, senjatanya sempat memberondong ke sembarang arah, menyebabkan dua orang lain tertembak.
Satu orang terakhir lari tunggang langgang keluar lewat lubang besar pada pintu tadi.
Dana menatap tajam pada Richard, skleranya yang telah menghitam beserta manik merah darahnya mengintimidasi. “Mau tahu kenapa pasukanmu di atas tidak segera menarik pelatuk, Richard? Pertama, mereka tidak bisa sembarangan menembak. Tidak mungkin membiarkan peluru memantul-mantul di gudang penuh bahan mudah meledak, bukan? Kedua, ketakutan. Jadi sekali lagi—”
Satu suara tembakan berbunyi nyaring. Sepersekian detik kemudian Wira memekik kesakitan, tumbang sambil memegangi pahanya yang terkena timah panas.
Dana teralihkan. “WIRA!!”
“Anak sombong,” ucap Richard. “Selamat tinggal.”
Di tengah kepanikannya, Dana membalik badan. Tepat saat satu moncong senapan menembakkan peluru menembus jantungnya.
Dapat Dana dengar Wira ganti menyerukan namanya lantang.
.
“Regenerasi berlangsung cepat, tentu saja. Namun sayang untuk organ vital… dari eksperimen yang pernah dilakukan… Aku ragu kecepatannya sepadan.”
.
Gama, kau brengsek.
Tak sempat Dana merintih, seolah suaranya habis. Ia dengar jelas bagaimana detak jantungnya yang melemah. Dirasakan kakinya melemas, ia tumbang dengan lutut yang masih kuat menopang badannya.
Tunggu.
Masih?
Detakannya kembali menguat. Keras, nyaring di telinganya. Ragu-ragu, tangan bergerak meraih lubang di mana peluru menembus dadanya. Aliran darah yang merembes hanyalah tetesan-tetesan ringan.
Kemudian ia merasakannya. Perasaan yang kuat, impulsnya menjalar dari dada menuju kepala, mengalirkan kencang sinyal-sinyal sampai ujung sarafnya. Darahnya seakan mendidih, tubuhnya memanas. Dana rasakan energi besar yang terbentuk di dalam dirinya, memberinya tenaga untuk bangkit kembali.
Dari mana?
Itu urusan nanti.
Dana merasa harus meminta maaf pada Gama karena telah mengatainya dalam hati beberapa saat yang lalu. Sebaiknya cepat-cepat ia membereskan urusan di sini kemudian mengabari sang peneliti atas penemuan baru ini.
Ia lepas jaket kulitnya yang membuat dirinya makin merasa gerah, memperlihatkan kaos hitam tanpa lengan yang juga basah. Ia keluarkan belati perak dari sarungnya di balik punggung. Sebuah seringai bengis terbentuk, desakan adrenalin membuat napasnya terengah. Dari sela-sela bibirnya, bersamaan dengan keluarnya napas turut terselip pula kepulan asap putih tipis. “Sepertinya… butuh lebih dari sekedar peluru untuk membunuhku, hm?” Dana mengejek lalu menjilat bilah belatinya.
Sebelas orang bersenjata api di lantai atas bersiap, serentak mereka bergerak ke tepi dan mengarahkan laras-laras senapan mereka ke arah Dana.
“Tidak secepat itu.” Dengan tenaga yang kembali penuh, Dana melesat. Ia jejakkan kakinya kuat-kuat, kekuatan otot kakinya yang meningkat tajam mengizinkannya melompat tinggi hingga di peron atas. Disabetnya belati pada leher satu penembak sebelum menapak peron. Selang sepersekian detik, suara tembakan terdengar bersamaan dengan erangan. Satu orang gugur dengan luka pisau dalam di dadanya. Selanjutnya adalah teriakan dan sebuah bunyi benturan keras, satu orang lagi jatuh dari lantai atas.
Richard bergidik melihatnya, perhatian terpaku pada sisa anak buahnya yang tumbang satu demi satu hingga tidak melihat sang pemilik sepasang manik hijau keemasan yang kini mulai bercahaya putih panas kembali berdiri di depannya.
“Sakit. Tahu?” Wira menyindir.
Jemari Wira mencengkeram kuat leher lelaki paruh baya itu. Andai Richard dapat mengatakan betapa tersiksanya ia, tangan bocah ini sungguh-sungguh membakar kulitnya seakan sebuah lilitan rantai yang dibakar dengan api biru hingga logamnya memerah.
“Katakan. SEKARANG!” bentak Wira.
“A-aakkh! N-namanya—”
“SEGERA KATAKAN, AKU DAN DANA PERLU MENGHABISINYA.”
Di atas, desingan peluru melewati telinga Dana. Bukan masalah, ia lebih cepat dari itu. Dunia di sekitarnya seakan melambat sekian detik. Ia melesat menuju satu penembak yang sedang memberondong peluru ke arahnya, dengan sigap ia menghindar. Ini dunia yang tidak bisa kalian tapaki, idiot lambat, pikir Dana.
Satu sabetan kilat ke arah leher, satu jasad bertambah. Dana menyeringai. Lebih cepat dan semakin cepat. Adrenalin mengalir ke seluruh pembuluh darahnya, memicu hasrat untuk berkobar lebih besar. Tinggal sedikit lagi. Dana ukirkan goresan pisau pada leher satu ke leher lain yang dapat ia raih.
“Di mana si brengsek itu?! Cepat seka—” Belum selesai menyelesaikan kalimatnya, sebuah belati menancap di dada si penembak terakhir, jatuhlah senapan yang ia pegang.
Julukan ‘Setan Merah’ bukan lagi bualan.
“Aku selesai, Wira,” ucap Dana sedikit lantang. Dari handrail pada tepi lantai, ia menapak diatasnya sebelum melompat turun. Gravitasi seolah tak memberatkan kaki-kaki kuatnya yang menahan berat setelah menapak keras lantai bawah. Pola pendaran di wajahnya perlahan hilang, sklera kembali putih jernih dari noda hitam yang tadi menyelimuti permukaannya.
Richard meronta hanya untuk cekikan di lehernya makin menjadi. “D-dia kkh—sudah menghabisi—anak buahku?!”
“Sudah kubilang jangan meremehkan kami, pak tua lumutan.” Wira membenturkan tubuh Richard pada tiang penyangga. Tangan satunya mencengkeram pundak pria itu, panas dari telapaknya memicu api dan membakar jas yang dikenakan Richard. Pupil bos musuh itu menyempit, semua yang ia saksikan hari ini sungguh di luar akal sehat.
“Segera. Bicara.”
“R-reaper...!” pekik Richard. “H-hanya itu namanya yang aku tahu! Aku bersungguh-sungguh!” Pria paruh baya itu semakin gentar begitu api mulai menjalar ke tubuhnya. Belum ditambah cengkeraman Wira yang membuat kulit lehernya melepuh serta menyiksa jalur pernapasannya.
“Baiklah, bohong berarti mati. Selamat—”
“Tunggu, Wira,” Dana menyela, “Dia berkata yang sebenarnya.”
Wira tampak tak mempercayainya. “Apa?”
“Aku dapat merasakannya. Dia jujur. Longgarkan.”
Richard menghela napas, Wira melonggarkan sedikit cengkeraman pada lehernya. Nampak luka bakar tertoreh di sana, seakan leher Richard disiram dengan air panas. Richard melirik pada pemuda monster itu, iris hijau keemasannya kembali.
“Lalu, apa yang kau punya?” tembak Dana langsung.
Butuh jeda beberapa saat bagi Richard untuk mengatur kambali napasnya yang berantakan. “D-dalam beberapa waktu ke depan... aku dan Reaper memiliki jadwal bertemu,” mulainya. “Transaksi senjata bulanan... di suatu gudang… milik kelompok Pesisir Utara. Seminggu sebelumnya ia akan memberikan penawaran serta waktu bertemu.”
“Dia langsung menghubungimu via ponsel?”
“Tentu saja. Begini... Jika kalian membiarkanku hidup, aku akan menuntun kalian langsung padanya. Solusi yang tidak buruk, bukan?”
“Ya. Itu tidak buruk.”
Sebilah belati perak kemudian menancap pada dada Richard.
Sepasang piringan rubi memandang dingin. “Tidak buruk untuk mencoba menjebak kami. Jangan salah, aku bisa membaca pikiranmu.”
Pria itu memegangi dadanya yang mengucurkan darah. Tak lama, ia bersandar pada tiang penyangga. Kakinya melemah, tak sanggup menopang tubuhnya hingga melorot terduduk ke lantai.
“Heh, padahal aku berharap bisa lebih dulu membakar wajahnya hingga rontok menjadi abu,” celetuk Wira.
Dana mendekati jasad Richard dan merogoh kantong jas yang pria itu kenakan, sebuah ponsel ia temukan di sana.
“Ini sudah cukup. Wir, bereskan semuanya,” ucap Dana sebelum memasukkan ponsel tersebut ke dalam jaketnya sebelum berjalan keluar, menunggu di luar pintu gudang.
Kepulan asap menyelip keluar dari sela bibir Wira. Matanya kembali memutih, bercahaya. Wira menarik napas dalam-dalam. Kobaran api besar tiba-tiba tersembur dari mulutnya, diarahkan kepada tubuh Richard yang tak bernyawa. Kemudian api ia arahkan ke kotak-kotak kayu yang ia hancurkan tadi, menjadikannya kayu bakar yang merambatkan api ke barang-barang lainnya. Jasad-jasad anak buah Richard pun perlahan-lahan dilahap oleh kobarannya.
Benar-benar seperti kremasi massal, pikir Dana. Wira menyemburkan apinya ke segala arah, sesekali diselipi raungan. Ia lempar kotak-kotak kayu yang dibakarnya dengan tangan. Beberapa magasin senjata anak buah Richard yang masih berisi pun ia ledakkan. Naga tengah mengamuk dan menghancurkan istana raja.
Efek chip itu memang besar—terlalu besar.
Hasrat yang dipendam dalam diri Wira terkuak sudah, diwujudkan oleh fisiknya sekarang. Matanya yang menjadi putih seluruhnya dan bersinar, pola pendaran berwarna merah lahar, rambutnya berkibar dan menyala, persis seperti jilatan-jilatan api. Dana tidak tahu apakah Wira akan seterusnya seperti itu. Menghancurkan dan membakar segala sesuatu yang ada di hadapannya.
Atau suatu hari nanti akan ada sesuatu yang mampu menghentikan amarahnya.
===
10.45. Gelanggang olahraga universitas, lapangan basket.
Terik matahari tidak menyurutkan semangat para penonton. Apalagi dua tim yang berhadapan dalam liga antar fakultas.
“Hei gondrong, oper!” Rico berteriak pada Theo yang masih berkutat dengan Aldo dan Aldi yang menghadangnya di tengah lapangan. Usaha pemuda tinggi itu untuk mengecoh si kembar belum membuahkan hasil.
“Santai, Theo. Kita nggak akan membiarkanmu lewat semudah itu, heheh,” di sela napasnya yang terengah, Aldi berucap.
Kedua manik zaitun Theo bergerak kesana-kemari, tangan tidak berhenti sedikitpun memantulkan bola ke lantai. Di sudut pandangannya ada Rico yang menunggu, tapi sepertinya dua penghadang di depan akan dengan mudah menahan bolanya nanti.
Mendecak, ia putuskan mengoper bolanya ke belakang dan ditangkap oleh satu rekannya.
Bola dengan cepat dioper lagi ke tangan lain, massa bersorak mengiringi pembawa bola ke area musuh. Dua anggota lawan menghadang, seketika operan berikutnya sampai ke tangan seseorang yang tak seorangpun berani melawan.
Kerutan tegang seketika nampak di tiap wajah pemain lawan. Batin Rico terkekeh geli.
Dari pinggir lapangan, Rico melesat. Satu orang menghadangnya tepat di depan, bukan masalah. Kakinya gesit melangkah ke samping, dengan mulus ia memutari si penantang. Beberapa langkah maju, dirinya kembali dihadang dua lawannya membentuk tembok.
“Jangan buru-buru,” ucap salah satunya, terengah.
Rico tersenyum kecil. Fokus matanya lurus, menantang. Bola memantul-mantul stagnan sebelum didribel dengan rangkaian interval yang tak dapat diduga. Gerakan gesit kaki Rico dan bola yang dipindahkan dari tangan ke tangan mulai mempengaruhi lawan.
Hingga pada satu titik, ketika Rico bergerak menyamping terbukalah pintu lebar untuknya menerobos celah besar dari kedua dinding yang terpisah itu.
Ia jejakkan kakinya kuat-kuat. Satu tangan mendorong bola oranye besar itu menuju ring, melayang bebas sampai akhirnya terjun masuk dengan mulus.
Dari seluruh penjuru, sorakan menggema. Tepat saat itu peluit berbunyi nyaring, permainan selesai. Serbuan kelima rekan Rico tak terhindarkan, pemuda itu kemudian ikut terlarut pada histeria.
Satu suara tertentu di tepi kursi spektator menarik perhatiannya. Manik kelabunya mencari-cari suara itu yang kemudian ditemukan dari seorang gadis berdiri di tepi pembatas, mengangkat-angkat kepalan tangannya tinggi-tinggi dan meneriakkan lantang namanya dengan penuh semangat. Kirana berkata bahwa dirinya tak bisa hadir menonton di tempo hari, maka kehadiran gadis itu di sana adalah sebuah kejutan.
Sebuah senyum simpul tertarik pada ujung-ujung bibirnya, mengembang lebar seraya memberi sahabatnya acungan dua jempol tak kalah semangat.
Dirinya kembali menghadap riuh kegembiraan. Pertarungan sengit telah usai, papan skor digital menunjukkan jarak angka satu digit yang begitu tipis. Lamunannya tersadar oleh salah satu kawan yang menepuk pundaknya keras.
“Oi, Rick! Yang tadi itu apa? Kereen!”
“Belajar dari mana? Tolong ajari ya, besok!”
“Ya, ya! Kamu tahu, nggak? Kita juga sampai bingung nebak kamu mau nerobos lewat mana, tadi.”
Tawa kecil terselip. Ayolah, yang ia lakukan tadi hanyalah trik sederhana untuk membingungkan lawan. Mungkin ditambah dengan sedikit modifikasi.
Dadanya terasa panas. Inikah perasaan yang sering Kak Nico rasakan? Satu alisnya terangkat, bibir tersungging naik sebelah dan ia berkata, “Berani berapa, nih?”
“Ah, mentang-mentang punya trik baru!” satu dorongan ringan ke pundak Rico dibarengi tawa.
Mendadak sensasi tusukan jarum muncul di tengkuknya, Rico mendesis. Tangan sontak menyentuh titik nyeri itu dan ia elusi sampai terasa hilang.
“Nggak apa-apa... Udah hilang, kok!” ucap Rico.
Rico dapati Theo tengah menatapnya lurus, siratan khawatir dapat terbaca di matanya.


# # # Continued in the Next Chapter # # #


(A/N)


Ehhh yeah. Karena kepanjangan, kita coba memangkas jadi dua bagian. Stay tuned for the next update! ;)

1 comment:

  1. Haai, maaf baru bisa comment lagi, baru buka dan ternyata udh ketinggalan banyak :"D
    Ceritanya makin keren aja, deskripsinya juga ngena (hint-nya juga... HINT-NYA INDAHHHH.. /abaikan)
    Di chapter sebelumnya banyak DanAdrian juga... DANADRIAN CANOONNNNNN /abaikan(2)
    Buat chapter ini, Lily suka sama actionnya.. jalan ceritanya juga makin seru buat diikutin... '-')b
    Ditunggu kelanjutannya xD

    ReplyDelete