Tuesday, June 30, 2015

Case #4

Sebuah ruangan oktagonal dicahayai lampu putih terang di langit-langit dan lantainya. Kaca satu arah terdapat di salah satu sisi ruangan tersebut. Gama menyisir isi ruangan lewat kaca dari luar, ia perhatikan dua orang tertentu berjas lab—yang satu berambut coklat kelimis, yang satu beriris toska dengan surai ikal berwarna sama—serta tiga orang lain sedang mempersiapkan alat-alat untuk eksperimen. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur medis dengan sebuah mesin bedah robotik di sampingnya. Mesin itu memiliki delapan lengan mekanik dengan satu buah alat injeksi yang cukup besar di tengahnya.
“Chip sudah siap, Venn?” ucap lelaki berambut cokelat tersebut, Willem rupanya.
“Sudah, Willem. Sebaiknya kita panggil subjek pertama.” Manik mata itu merunut daftar yang terpampang pada layar tablet yang ia genggam.
Proyek sudah berjalan sejauh ini ya, batin pria muda bermanik kelabu itu sembari mengelus dagunya, masih memperhatikan dari luar dengan seksama.
“Subjek pertama, eksperimen tahap dua—” Entah kenapa saat nama subjek eksperimen itu disebutkan, dengungan memenuhi telinga Gama.
Pintu otomatis lalu terbuka, seseorang memasuki ruangan tersebut. Venndra mempersilakan orang tersebut berbaring telungkup pada tempat tidur medis. Masing-masing kaki dan pergelangannya kemudian diikat sabuk karet hitam kuat yang terpasang pada ranjang. Namun ketika Gama hendak melihat orang itu, ia rasakan fokus matanya hilang sejenak. Willem yang berada di bagian operator mesin bedah, mengawasi seorang ahli bedah yang mulai mengoperasikan alatnya.
“Pemindaian kondisi tubuh… Baik. Kadar hormon serta detak jantung pada taraf normal,” ucap ahli bedah tersebut.
Willem mengangguk, “Lanjutkan.” Sebuah pancaran sinar muncul dari salah satu lengan robot, memindai dari kepala hingga kaki. Lelaki yang menjadi subjek tetap diam pada posisinya.
“Berikan anastesi lokal.” Sebuah lengan robot lain bergerak mendekati tengkuk lelaki itu. Ujungnya berupa alat suntik dengan tabung bening. Jarum ditusukkan dan cairan tersebut disuntikkan.
Jari salah satu personel di situ kemudian menyentuh-nyentuh beberapa titik di sekitar area tadi. “Saya menekankan jari saya di sini. Apakah terasa sesuatu?”
Subjek lalu menjawab pelan, “Tidak.”
Gama mengedipkan matanya sekali, setengah sadar jari tangannya menyentuh bibirnya sendiri. Sekedar perasaan atau memang suara orang—pria itu mirip sekali dengannya?
“Pemindaian tubuh bioplasma… Stabil. Subjek siap.”
“Inisiasi implan chip. Venndra, masukkan kode aktivasi.”
Lelaki berambut toska itu mengangguk sebelum mengetikkan serial angka pada komputer di sebelah bagian operator mesin. Gama mendengar mesin itu mendengung, alat injeksi itu bergerak ke arah tengkuk subjek eksperimen. Silindernya bergerak turun sedikit mendekati permukaan kulit subjek, kemudian sebuah pipa logam kecil berujung runcing, kira-kira berdiameter setengah milimeter keluar dari alat tersebut.
Gama sedikit berjengit melihat pipa kecil itu, tengkuknya terasa kaku. Sorot mata operator seakan mengisyaratkan meminta ijin pada Willem, Willem mengangguk.
Pipa tersebut ditancapkan dengan cepat ke tengkuk subjek, seketika Gama merasakan nyeri pada tengkuknya. Kemudian terdengar suara seperti cairan dialirkan dengan tekanan gas yang tinggi dari alat injeksi tersebut. Subjek terlihat diam tak bergerak.
“Chip berhasil dimasukkan, Pak. Kondisi subjek masih stabil, tidak ada tanda-tanda perubahan yang membahayakan.”
“Bagus. Venndra?”
“Chip aktif, identifikasi sekuens DNA subjek… Uh… Willem, chip menginisialisasi prosedur penulisan ulang DNA dalam hitungan milidetik dan kini proses sudah mencapai delapan puluh lima persen.”
“Apa...?”
Tiba-tiba lampu dalam ruangan tersebut berkedip cepat, salah satu lampu di langit-langit bersinar terang hingga pecah. Suara seperti dengungan listrik terdengar ke seluruh ruangan. Si Subjek masih diam di sana, namun keanehan terlihat pada tubuhnya.
Kulit lelaki itu seakan robek, muncul retakan-retakan bercabang layaknya pada tanah kering dan berpendar kuning. Kemudian tubuh subjek itu bergetar hebat, bahkan sabuk karet yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya mulai sobek.
Mendadak Gama merasakan dirinya seperti ditekan kuat oleh entah apa secara paksa ke bawah. Detak jantungnya meningkat, atmosfer sekelilingnya telah berubah: panas, berat—sangat berat dan menyesakkan. Dengan mudah ia telusuri arah datangnya tekanan tadi yang berasal dari ruang eksperimen tepat di hadapannya. Kaki menggiringnya melangkah mundur hingga punggung menyentuh tembok, sesaat kemudian jendela kaca tadi pecah berkeping-keping. Untung Gama masih sempat melindungi diri.
“Pak! Energi bioplasma subjek melebihi batas!” ucap operator mesin tersebut.
“Peningkatan energi hingga 200 persen!”
“Detak jantung dan kadar hormon melebihi batas! Kita harus memberikan penenang!”
Ketika lengan robot tersebut hendak menyuntikkan obat penenang pada subjek, tangan kanan lelaki itu bebas dari ikatannya kemudian menggenggam alat penyuntik pada lengan robot tersebut. Dengan mudahnya alat tersebut diremukkan. Tangan kanannya dengan cepat melepaskan ikatan di lengan satunya sebelum bertumpu pada kedua tangannya. Kompak para operator di ruangan itu melangkah mundur, terpojok pada tembok.
Gama terhenyak ketika melihat jelas warna rambut cepak lelaki itu berubah menjadi helaian kelabu keperakan. Tiba-tiba wajah lelaki itu berpaling menghadapnya dan ia temukan di sana wajahnya sendiri dengan tatapan bengis, iris berwarna kuning menyala dan sklera hitam sepekat dasar jurang.
Dia menyeringai. “Seperti yang kau harapkan… bukan?”
= = =

Variable X

Case 4: Resolve

= = =



Jantung Gama berdetak cepat, nafasnya memburu. Ia terkesiap, bangun dengan tubuhnya yang terbalut kaos kelabu polos bersimbah keringat. Cahaya matahari yang menembus korden jendela kamar apartemennya menunjukkan subuh telah lewat. Ia topang kepalanya yang terasa berputar dengan satu tangan.
Apa itu tadi?
“M-Mas?!”
Gama menoleh sedikit ke arah pintu dimana seorang wanita muda dengan rambut sebahu yang digerai melongok masuk, kaos biru langitnya tertutup celemek putih. “Nana…?” sebut Gama pelan.
Ia tersenyum, bersyukur masih bisa dipertemukan dengan istri tercintanya.
“Kamu nggak apa-apa kan, Mas?” Nana berjalan cepat mendekat sebelum duduk di tepi ranjang dan memeluk tubuh Gama erat, tangan mengelus lembut kepala suaminya. “Tadi aku dengar kamu menggigau,” ungkapnya.
Tawa lemah keluar dari sela bibir Gama. “Aku… bermimpi buruk.” Ia menyandarkan dahi di pundak Nana, lesu. Satu lengan merangkul tubuh istrinya, kehangatan yang menjalar memudahkannya untuk mengatur nafas dan mencari ketenangan.
Momen pun berakhir, Nana melepas pelukannya sehingga dapat ia kecup lembut dahi Gama. Kemudian ia letakkan telapak tangannya lembut di masing-masing telapak suaminya, sepasang piringan almond menatap manik kelabu yang masih menunjukkan kekacauan di dalam sana. “Mau cerita?” ajaknya.
Gama menunduk diam. Masih terpatri jelas awal-awal kejadian itu dalam ingatannya hingga nampak sosok dirinya sendiri yang terlihat begitu menyeramkan, layaknya iblis.
Sial. Eksperimen insidental beberapa hari lalu yang turut ia pantau itu membekas begitu dalam. Ia lihat betul bagaimana hewan-hewan tak bersalah itu sedikit demi sedikit berubah wujud menjadi sesuatu yang tak patut untuk dikembalikan ke alam. Sebut saja adanya salah satu kera yang menumbuhkan tulang-tulang runcing di sepanjang punggung serta kedua pundak dan sikunya bergerak lincah—terlalu lincah. Belum lagi perilakunya yang beringas sampai-sampai melukai dua peneliti yang merawatnya. Kera itu senang sekali menggigiti apapun yang ditemuinya termasuk sangkarnya sendiri yang terbuat dari logam. Tak luput juga pola-pola retakan tanah kering berpendar di tubuh kera itu, persis seperti yang ‘Gama’ miliki di mimpi buruknya barusan.
Harus bagaimana Gama bercerita? Ia tak mau membuat istrinya khawatir lebih dari ini.
Gama pun tersenyum lemas. “Alien… atau apalah. Aneh dan mengerikan,” ungkapnya. Ucapan maaf lalu disuarakan dari hatinya. “Mungkin aku lelah, dik.”
“Apa juga kubilang, jangan kebanyakan begadang,” kata Nana yang hanya dibalas dengan tawa pelan. “Haha, lagipula aku juga sekretarismu, kan? Pekerjaan yang baik didukung dengan istirahat yang baik pula. Dan sepertinya... kamu begitu antusias dengan proyek sampinganmu, ya...”
“Paling tidak aku tidak meminta pada pemerintah untuk ini. Mungkin... tidak semuanya…” gumam Gama, memalingkan wajah.
Bagaimana tidak disebut demikian jika laboratoriumnya saja meminjam fasilitas negara? Meski begitu, Gama akan mengganti semuanya nanti. Sejenak ia bersyukur akan banyaknya orang yang bersedia membantunya untuk ini.
Nana tersenyum lebar, tangannya lalu bergerak mengelus lengan Gama. “Sudah, sudah… itu tehmu di meja masih panas. Ayo turun, mau kubuatkan telur dadar,” pungkasnya sambil turun dari ranjang dan berjalan keluar.
“Uh… sebentar lagi?” Gama mengacungkan tangannya sedikit, masih belum bergerak dari posisinya.
“Iya, tapi jangan lama-lama, oke?”
Gama tidak membalas, ia sedang membutuhkan sedikit waktu.
Telapak tangan Gama tengadahkan menghadap wajahnya. Tangan-tangan ini telah berhasil menuangkan titik-titik awal impiannya. Mereka berhasil menarik para pemimpi lainnya untuk berjuang bersamanya. Mereka curahkan segala isi kepala Gama ke dalam arsip-arsip rahasia yang nantinya semua orang akan menikmatinya.
Apakah ini jalan yang benar?
Haruskah ia korbankan lebih banyak makhluk bernyawa lagi demi cita-citanya?
Akan bertambah berapa banyak lagi tanggungan dosanya?
Apa yang harus ia lakukan jika semua ini hanya sekedar impian, tak peduli nanti sejauh apa langkah yang telah ditempuhnya?
Semua orang telah melangkah. Tak ada lagi jalan pulang. Telah lama jalur itu runtuh ke dalam jurang.
Apa isi ‘Faktor X’?
Mengapa Gama tak kunjung mendapatkan jawaban?
Mungkin aku harus membuktikannya sendiri.
Toh jika gagal, aku juga akan dibuang. Orang lain tidak perlu melakukan kesalahan yang sama denganku.
Tiba-tiba terdengar suara Nana dari dapur, “Oh iya, Mas. Tadi Daniel telepon. Katanya, Mas Bram jadi datang ke rapat nanti. Sekarang mereka sudah di bandara.”
Alis Gama terangkat naik. “Bram siapa?” tanyanya.
“Ya ampun, Mas… Kamu lupa? Bosnya Daniel. CEO(1) IO Technologies yang tidak jadi datang buat tanda tangan kontrak kemarin itu! Bramantya Wijaya!”
Gama merasakan jantungnya berdetak kencang. “JADI DATANG?!” pekiknya, aliran kepanikan mulai menjalar ke sekujur tubuhnya. “Bukannya baru kemarin sore dia bilang—”
“Nggak tahu, Mas. Nanti di kantor katanya mau dijelasin.”
Gama cepat-cepat melangkah turun, handuk putih yang tersampirkan di pojok kamarpun disambarnya. Tidak pantas jika ada tamu penting, dirinya sendiri datang terlambat.
===
“Jadi… berapa sesi kuliahmu hari ini, Adrian?”
Suara pintu ditutup dan langkah seorang pemuda berkacamata terdengar di telinga Surya. Pemuda itu menguap lebar, kemudian menghempaskan badannya di sofa, kepala ia tengadahkan ke arah jendela di belakangnya.
“Walaupun cuma dua sesi, belajar hingga begadang cukup menguras energi, tahu. Hari ini dua-duanya kuis semua.”
Tawa pelan keluar dari lelaki berambut biru keunguan itu, ia merapikan jambul dengan jemarinya. “Yah… begitulah kuliah, kalau tidak mau repot, langsung kerja saja,” ucapnya. Surya beranjak ke lemari es dan membukanya, diambilnya dua susu kalengan dan satu ia lemparkan ke Adrian. “Tangkap.”
Tangan Adrian dengan cepat bergerak seperti menyabet dari arah luar ke dalam dan kemudian menangkap kaleng tadi, tersenyum lebar.
“Nggak usah pamer, anak tae kwon do.” Surya membuka kaleng minumannya, meminumnya seteguk kemudian duduk kembali.
Adrian menghabiskan setengah dari minumannya kemudian menyeka bibirnya. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Surya?” ia memulai.
“Sebenarnya begini...” Surya bersandar dan menyilangkan tangan di dada. “Kamu pernah mendengar istilah ‘Homunculus’?”
Adrian memutar bola matanya sejenak kemudian mengangkat bahu.
“Yah… simpelnya, Homunculus itu divine being di dalam diri setiap orang.”
“... divine being.”
“Sisi lain dari manusia itu sendiri.”
Adrian membenarkan posisi duduknya, kini menyerong berhadapan dengan adik sepupu yang lebih tua darinya itu. Diletakkannya kaleng susu yang tadi dipegangnya pada meja di depannya. “Umm… Surya? Sebenarnya kita mau membicarakan apa?”
“Mendengar rumor tentang Paramayodya? Organisasi riset terbesar di negeri ini?”
“Rumor...? Ah! Temanku pernah cerita. Ada proyek rahasia me—”
“Merekayasa genetika manusia.”
Kedua manik kobalt itu menatap Surya lurus, perlahan-lahan mereka sedikit menajam. “Jadi… proyek itu benar-benar ada?”
Surya mengangguk pelan.
.
“... Proyek Homunculus ini akan dijalankan dalam dua tahap, seleksi fisik dan mental kemudian implantasi chip ke dalam tubuh.”
“Lalu?”
“Pada seleksi fisik dan mental, Gama merencanakan rekrutmen massal sehingga sembarang orang bisa ikut.”
“Omong-omong, Venn... Yang lolos tes ini akan menjadi subjek eksperimen tahap berikutnya bukan? Apa kau ingin mengatakan padaku untuk menyamar sebagai rakyat sipil kemudian mengikuti tes itu?”
“Tepat. Oh ya, kemudian sepupumu...”
.
Adrian menegakkan punggungnya, alisnya terangkat skeptis. “Memintaku ikut serta...? Tunggu—kenapa aku?”
“Menurutnya, fisik dan mentalmu bagus. Ia juga mengatakan kau memiliki potensi...”
“Potensi? Potensi apalagi?”
“Entahlah. Ingat ketika kamu bertemu dengannya pertama kali? Katanya sejak hari itu, Venn mengetahui potensimu.”
Adrian menopang dagunya dengan kedua tangan. “Venn ini… spesial, ya?” gumamnya.
“Dia… indigo. Kau tahu kan, orang-orang yang memiliki kemampuan lebih seperti indera keenam.”
“Oh… Pantas saja. Ada sesuatu hal tentang dia yang bahkan aku sendiri bingung menjelaskannya.”
Sejenak keheningan mengisi di antara mereka. Iris Adrian menatap ke bawah, ia berpikir. Surya menatap kakak sepupunya itu menunggu jawaban.
“Penelitian ini… seperti mendengar cerita ala negeri dongeng,” gumam Adrian, memandang langit-langit.
Surya menatap sepupunya bingung.
“Homunculus? Divine being? Terdengar seperti kisah-kisah dongeng fantasi yang sering kudengar waktu kecil. Teori ilmiah tentang itu juga tidak jelas, kan? Lagipula, kita bicara soal Paramayodya. Kau tahu sendiri kredibilitas mereka bagaimana.”
Tak dipungkiri pendapat Adrian ada benarnya juga. Surya ingin menjelaskan adanya satu hal lain yang terlibat, namun itu berarti mempertaruhkan rasa percaya Adrian terhadap penelitian ini juga. Dengan satu helaan nafas, Surya pun memutuskan. “Pernah dengar istilah energi alam? Atau tenaga dalam?”
Adrian menoleh, diam sejenak untuk mencerna kata-kata sepupunya sebelum mengatakan, “Per… nah? Sering dengar dari orang-orang yang melakukan yoga. Kenapa?”
“Venn pernah bilang padaku dulu. Setiap orang memiliki tubuh berupa energi alami yang disebut tubuh bioplasma. Tubuh ini tak kasat mata, namun ada.”
“Oh....! Apa yang kau bicarakan ini adalah tubuh aura?”
“Ya. Kemudian titik-titik pusat energi ini biasa disebut——”
“Chakra.”
Sebuah senyuman kecil merekah pada bibir Surya. “Tak kusangka kau mengerti juga soal metafisik begini.”
Adrian tertawa kecil. “Lalu… eksperimen ini melibatkan tubuh bioplasma sebagai sumber energi perekayasaan genetika manusia, begitu?”
“Cerdas. Tepat seperti itu.”
Adrian menatap langit-langit intens, bibirnya sesekali berkomat-kamit menyusun apapun yang muncul dalam pikirannya. “Ada hal lain tentang eksperimen itu lagi, tidak?” tanyanya lagi.
“Hmm… belum ada. Yang pasti Venndra akan memberitahuku jika ada hal lain. Selain itu, aku juga ingin tahu banyak mengenai itu. Ada yang tidak beres.”
Iris biru itu melihat ke arah lain sejenak, kemudian menatap Surya dengan sorot yang mantap. Adrian telah memutuskan. Kesempatan berharga ini telah lama dicarinya.
“Baiklah, aku ikut.”
===
“Jabhi… mmm—gimmana, Abdo?”
“Theo, sebaiknya kau telan makananmu dulu sebelum bicara.”
Ia menuruti suara gadis berambut panjang violet itu. Setelah menelan, ia tersenyum lebar, gadis itu memutar bola matanya.
Sekelompok pemuda-pemudi berkumpul di salah satu meja besar kantin kampus siang itu. Letaknya yang di pojok ruangan dengan jendela-jendela kaca disekelilingnya memberi pemandangan segar ke taman kampus.
“Kalian tahu kan, ayahku sudah pensiun dari perusahaan.”
“Ya, lalu? Salah satu dari kalian pasti akan menjadi penggantinya kan?” Telunjuk Rico menunjuk Aldo dan kembarannya, Aldi, bergantian.
“Sebenarnya sudah kelihatan siapa yang akan menjadi CEO selanjutnya, dia.” Aldi menunjuk kakaknya dengan ibu jari kanannya.
Helaan nafas lesu menyelip keluar dari Aldo. “Tetapi, ayahku menganggap diriku masih terlalu kecil untuk menjadi seorang CEO. Aku dianggap masih belum mampu.”
“Belum mampu?” Theo melahap satu sendok penuh mashed potato.
“Yah… biasa, lah. Orangtua butuh bukti.” Aldi mengangkat bahunya.
Gadis berambut pendek merah jambu di sebelah Rico, Kirana bertanya, ”Bukti seperti apa?”
Aldo menopang dagunya, ia nampak seperti berpikir sejenak, kemudian membuat isyarat ketidaktahuan dengan tangan satunya, “Entahlah.”
“Tetapi, ada hal yang lebih mengkhawatirkan. Perusahaan kami dipegang sementara oleh dua orang yang dianggap oleh beliau adalah ‘orang terbaik’-nya.” Aldi membentuk tanda kutip dengan jari-jarinya.
Aldo menyambung, “Ada transaksi mencurigakan dari rekening perusahaan ke sebuah instansi, seperti sebuah investasi. Semacam. Aku menemukan buktinya tertulis dalam sebuah slip di catatan divisi keuangan.”
Seisi meja menatap lurus pada pemuda pirang itu, tak seorangpun berani bicara.
“Melihat matanya pun aku sudah tahu. Mereka berdua, bukan orang bersih,” lanjut Aldo geram, tangannya mengepal.
“Yang kau maksud ini, Daniel? CEO sementara perusahaanmu yang pernah muncul di media?” Theo mengkonfirmasi.
“Tidak. Daniel bukan CEO, dia general manager. CEO sementara ini dulunya tangan kanan Ayah.”
“Hah? Jadi ada lagi?”
“Angka transaksinya cukup besar, dan anehnya, tidak dicantumkan dengan jelas kepada siapa, untuk mendanai apa...” lanjut Aldi.
“Bisa jadi korupsi? Anggaran gelap?” Stella menyeletuk.
“Stella...”
“Aku cuma berkomentar, Theo...”
Well, itu cukup masuk akal TAPI, semoga bukan itu. Tetap ada sesuatu yang janggal di sana...” ucap Aldo.
“Meski begitu, kamu nggak bisa asal menuduh orang begitu saja, kan?” Rico, pemuda bersurai cokelat jabrik di samping Kirana menyela. “Maksudku… ayolah, ayahmu saja percaya dengan mereka.”
Mendapati atmosfer yang kurang bersahabat, keheningan dipecahkan oleh Kirana yang tiba-tiba meraih tas dan mengacak-acak isinya. “Oke, guys. Semoga Aldo dan Aldi bisa segera memecahkan kasus tadi, tapi—” Kirana lemparkan beberapa carik kertas berisi ketikan tulisan-tulisan diatasnya. “Kalian harus baca ini.”
“I-ini...”
“Hasil jarahan iseng si rambut pantat bebek,” Kirana menjelaskan. “Ngomong-ngomong, udah beberapa hari ini dia mulai jarang masuk kuliah…”
Theo menahan tawanya kemudian ia disikut pelan oleh Stella. Seisi meja memanfaatkan waktu sejenak membaca kalimat demi kalimat pada berkas itu.
“Eeer… Kenapa terdengar seperti proyek ilmiah yang biasa muncul di film-film…?” Aldi bertanya skeptis. “Tolonglah, ini sungguhan dari Paramayodya?”
“Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering dengar hal beginian,” tambah Theo.
Kirana menatap pemuda gondrong itu sedikit lama sebelum melanjutkan, “Mungkin terlihat seperti artikel konspirasi abal-abal di internet, tetapi lihat pada kalimat ini...”
Kirana menunjuk pada satu kalimat di paragraf akhir dengan telunjuknya. Rico mendekatkan jarak bacanya, ia memicingkan mata. “‘Perusahaan IT ternama akan ikut ambil bagian dalam proyek ini.’ Jangan-jangan...?”
Kirana menyela, “Tapi aku harus setuju dengan Theo. Desas-desus tentang eksperimentasi manusia ini...”
“Itu benar.” Suara seorang pemuda terdengar dari belakang Kirana. Perhatian seisi meja teralihkan kepada pemuda dengan kacamata berpostur tinggi itu.
“Adrian?” Aldo mengernyitkan dahi. “Sejak kapan...?”
Adrian mengambil kursi dari meja sebelah kemudian menempatkannya di sisi meja yang masih kosong di sebelah Aldo.
“Aku memperhatikan kalian sedari tadi, aku baru saja selesai dengan kuliahku.”
“Adrian, apa yang kau ketahui soal proyek ini?” Kirana menyelidik, ia merasa Adrian mempunyai informasi lebih banyak. Penghuni meja yang lainnya pun mencondongkan badan mereka maju, ingin mendengar lebih jelas.
“Sepupuku detektif. Dia diminta temannya yang bekerja sebagai peneliti di Paramayodya untuk menyelidiki eksperimen itu dengan menjadi subjek penelitian. Eksperimentasi manusia itu benar dan akan dilakukan. Dua tahap, seleksi fisik dan mental subjek, kemudian implantasi. Entah kedok apa yang akan digunakan perusahaan itu dalam melakukan seleksi subjek dari masyarakat luas.”
“Masyarakat luas? Apa mereka gila?” Theo terperangah mendengar pernyataan Adrian.
“Ini masuk akal, mereka pasti akan mengemas tahapan pertama dengan kedok yang sangat rapi,” komentar Kirana.
“Tujuan proyek ini adalah merekayasa genetik manusia menggunakan bioplasma sebagai sumber energinya. Pasti implan yang ditanamkan pada tubuh yang akan mendukung proses rekayasa itu.”
“Apa yang kau tahu tentang fakta bahwa sebuah perusahaan IT yang terlibat dalam proyek ini?” tanya Aldo.
Adrian terdiam sejenak sebelum menggeleng. “Sayangnya aku tidak tahu. Tapi aku akan ikut.”
Seisi meja terdiam, apa yang ada di benak dan pikiran mereka sama. Orang seperti Adrian menyatakan demikian hanya berarti satu.
“Meski diadakan oleh organisasi riset sebaik apapun, eksperimentasi manusia bukanlah hal yang aman, aku tahu. Tapi firasatku mengatakan, akan ada hal besar terjadi jika aku mengikuti eksperimen ini. Aku ingin membuktikannya sendiri. Ada sesuatu di sana yang ingin kudapatkan. Dan jika Tuhan mengizinkan… Mungkin aku bisa membagikannya pada kalian semua.”
Seluruh pasang mata pun menatap satu sama lain, beragam ekspresi diutarakan dari sorotannya masing-masing.
Aldo bergumam, “So, this project is really happening. Right?”
===
Tiga lelaki mengisi tiga dari beberapa kursi kosong di ruang persegi itu. Barisan jendela kaca mengarah ke taman memberi penerangan. Dua dari tiga laki-laki itu duduk bersebelahan, tampak menunggu. Satu lagi yang bersurai merah mengenakan jaket kulit gelap duduk di sisi meja yang berseberangan, mengambil jarak sedikit jauh dari mereka. Ia duduk bersandar dengan lengan disilangkan di dada, matanya terpejam. Sebuah kacamata terlipat rapi di depannya.
Ganesha bersandar di kursinya, satu kaki disilangkan di bawah meja sementara satunya lagi mengetuk-ketuk lantai tak sabar. Entah sudah berapa lama ia mengikuti gerak jarum panjang pada jam tangan yang dikenakannya. Seharusnya rapat dimulai sejak empat menit yang lalu, namun Gama dan dua tamu istimewanya tak kunjung tiba.
“Kak Ganes,” panggil suara seorang pemuda yang duduk bersebelahan dengannya.
“Apa lagi, Reza,” sahut Ganes lelah.
“Aku masih tidak menyangka…” Reza bergumam, “Kak Ganes yang pro begitu mau menerimaku.”
Ganesha menghela nafas, ia alihkan perhatian pada murid pribadinya, “Hentikan itu, Reza. Entah sudah keberapa kali kamu mengulangi pernyataan yang sama. Ganti topik kenapa? Aku sampai bosan mendengarnya.”
“Yaa kalau begitu, kapan aku bisa pulang?” keluh Reza sambil meletakkan tangan di belakang kepala. “Aku mau kuliah lagi. Aku mau ngelihatin temenku skill yang sudah kupelajari sama Kak Ganes selama ini.”
“Pamer buat apa? Sudahlah, kamu bantu aku mengurusi sistem informasi di sini saja.”
“Kak Ganes.”
“Apa lagi?” balas Ganesha ketus.
Reza sedikit terkejut mendengarnya. “Santai aja lah, kak. Ngomong-ngomong, kenapa aku dibawa ke sini? Aku kan bukan orang penting seperti Kak Ganes.”
“Mana aku tahu. Gama yang menyuruhku membawamu,” jawab Ganes. Kali ini ganti jemari tangannya yang mengetuki permukaan kaca pada meja panjang yang terletak di tengah-tengah ruangan itu.
Sepertinya mood Ganesha sedang tidak baik. Tinggal satu orang di ruangan itu yang (mungkin) bisa diajaknya bicara selagi menunggu. “Dana,” panggilnya.
Dana menyahut dengan gumaman singkat, mata masih terpejam.
“Aku sampai sekarang tidak menyangka ternyata kamu bos mafia senjata.”
“Lalu?”
“Yah… Kupikir kamu mahasiswa baik-baik seperti Adrian. Kalian bukannya bersahabat?”
Kelopak mata Dana sedikit terbuka memperlihatkan sepasang piringan rubi yang menatap lurus pada langit-langit. “... Apa mereka yang berteman dengan Adrian harus anak emas universitas juga?” tanyanya balik. Nadanya terdengar lebih dingin dari biasanya.
Reza tak mengatakan apapun beberapa saat setelahnya, mencoba menyusun kata-kata yang pas. “Adrian... sudah tahu?”
“Belum. Cepat atau lambat dia akan tahu.”
Terdengarlah suara orang bercakap-cakap tepat dari luar pintu, sontak ketiga penghuni ruangan itu menoleh. Desisan hidrolik terdengar, kedua daun pintu metal itu pun terbuka dengan sendirinya. Kemudian nampaklah tiga pria berpakaian rapi melangkah masuk ruangan. Gama tak lagi mengenakan setelah abu-abu, namun jas hitam panjang selutut berkerah tinggi dengan aksen warna emas di tepian menutup rapi kemeja putih yang dikenakannya. Seorang pria kaukasian pirang berpostur paling jangkung berjalan di belakang satu pria lain yang Ganesha, Reza dan Dana belum pernah lihat selama di gedung ini.
“... Tiba-tiba kantor cabang di Singapura mengirimi kabar seperti itu. Bagaimana saya tidak panik? Cepat-cepat saya beli tiket, sesampainya di sana suasana kacau. Makanya saya terpaksa mengirim Daniel kemari.”
Aksen bicara yang khas. Berpostur sedang, sedikit tidak lebih tinggi dari Gama. Manik matanya keemasan, rambut pendek gelap, disisir rapi menyamping dengan poni yang sedikit menutupi belahan dahi kirinya. Setelan pinstripe gelapnya nampak serasi dengan kemeja biru dan dasi hitam di baliknya.
“Ah, bagaimana jika saya memperkenalkan Anda terlebih dulu sebelum kita mulai?” Gama mengambil langkah sedikit di depan pria itu, kemudian ia tatap ketiga orang di meja pertemuan. “Ini Bramantya Wijaya; CEO IO Technologies yang akan ikut rapat bersama kita.”
Pria baru itu tersenyum, dada sedikit dibusungkan dengan kedua tangan ia letakkan di balik punggung. “Panggil saja Bram,” ucapnya.
Ganesha terlebih dulu menyalami dan memperkenalkan diri, disambung Reza dan Dana terakhir. Pintu ruang rapat kemudian tertutup, Gama berjalan ke salah satu sisi ruangan di mana terdapat sebuah layar sentuh. Ia tekan beberapa tombol, hal berikutnya yang terjadi adalah munculnya hologram bahan diskusi di tengah-tengah meja. Tirai otomatis menghalangi cahaya matahari yang masuk sehingga seluruh peserta rapat dapat melihat jelas materi yang hendak disampaikan.
Gama berbalik menatap para anggota pertemuan, memberi senyum dan mengucapkan, “Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk rapat siang ini. Mari kita mulai. Homunculus Project."

# # # Continued in the Next Chapter # # #

CEO = Chief Executive Officer; jabatan tertinggi dari suatu perusahaan besar.
(A/N)
FDA: Panjang. Sekali. Nampaknya semua akan berawal dari sini…
Agon: Gama mimpi buruk, ditenangin Nana, what a fluff. Another favorite scene, Reza minta dinotis Ganes dan cari mati sama Dana. AKHIRNYA MAS UBE DEBUT.
FDA: Ada yang bisa menebak “tekanan” yang Gama rasakan di mimpinya? Itu sungguh ada, terutama jika kita berada di tempat… yang… ada sesuatunya...
Agon: Otsukare mba faya o/ *toss

Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)

Kritik/Saran boleh sekali~

@F_Crosser | @agonps

No comments:

Post a Comment